b:include data='blog' name='all-head-content'/>
bismillah

Welcome

31. Katakanlah ( Muhammad ), " Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. " Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang,
32. Katakanlah ( Muhammad ), " Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-org kafir. " ( QS. Ali Imron : 31-32 )
Fruity Cherry Heart

Senin, 21 Februari 2011

Bakti Kepada Orang Tua

Diposting oleh AKHWATimoet di 22.28 0 komentar
Terdapat banyak ayat yang mendudukkan ridha orang tua setelah ridha Allah dan keutamaan berbakti kepada orang tua adalah sesudah keutamaan beriman kepada Allah. Allah berfirman yang artinya, “Dan Kami perintahkan kepada manusia kepada dua orang ibu-bapanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.” (QS. Lukman: 14). Lihat pula QS. al-Isra 23-24, an-Nisa 36, al-An’am 151, al-Ankabut 08.


Ada lima kriteria yang menunjukkan bentuk bakti seorang anak kepada kedua orang tuanya.

Pertama, tidak ada komentar yang tidak mengenakkan dikarenakan melihat atau tercium dari kedua orang tua kita sesuatu yang tidak enak. Akan tetapi memilih untuk tetap bersabar dan berharap pahala kepada Allah dengan hal tersebut, sebagaimana dulu keduanya bersabar terhadap bau-bau yang tidak enak yang muncul dari diri kita ketika kita masih kecil. Tidak ada rasa susah dan jemu terhadap orang tua sedikit pun.

Kedua, tidak menyusahkan kedua orang tua dengan ucapan yang menyakitkan.

Ketiga, mengucapkan ucapan yang lemah lembut kepada keduanya diiringi dengan sikap sopan santun yang menunjukkan penghormatan kepada keduanya. Tidak memanggil keduanya langsung dengan namanya, tidak bersuara keras di hadapan keduanya. Tidak menajamkan pandangan kepada keduanya (melotot) akan tetapi hendaknya pandangan kita kepadanya adalah pandangan penuh kelembutan dan ketawadhuan. Allah berfirman yang artinya, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. al-Isra: 24)

Urwah mengatakan jika kedua orang tuamu melakukan sesuatu yang menimbulkan kemarahanmu, maka janganlah engkau menajamkan pandangan kepada keduanya. Karena tanda pertama kemarahan seseorang adalah pandangan tajam yang dia tujukan kepada orang yang dia marahi.

Keempat, berdoa memohon kepada Allah agar Allah menyayangi keduanya sebagai balasan kasih sayang keduanya terhadap kita.

Kelima, bersikap tawadhu’ dan merendahkan diri kepada keduanya, dengan menaati keduanya selama tidak memerintahkan kemaksiatan kepada Allah serta sangat berkeinginan untuk memberikan apa yang diminta oleh keduanya sebagai wujud kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya.

Perintah Allah untuk berbuat baik kepada orang tua itu bersifat umum, mencakup hal-hal yang disukai oleh anak ataupun hal-hal yang tidak disukai oleh anak. Bahkan sampai-sampai al-Qur’an memberi wasiat kepada para anak agar berbakti kepada kedua orang tuanya meskipun mereka adalah orang-orang yang kafir.

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergauilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Lukman: 15)

Syarat Menjadi Anak Berbakti

Ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi, agar seorang anak bisa disebut sebagai anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya:

Satu, lebih mengutamakan ridha dan kesenangan kedua orang tua daripada ridha diri sendiri, isteri, anak, dan seluruh manusia.

Dua, menaati orang tua dalam semua apa yang mereka perintahkan dan mereka larang baik sesuai dengan keinginan anak ataupun tidak sesuai dengan keinginan anak. Selama keduanya tidak memerintahkan untuk kemaksiatan kepada Allah.

Tiga, memberikan untuk kedua orang tua kita segala sesuatu yang kita ketahui bahwa hal tersebut disukai oleh keduanya sebelum keduanya meminta hal itu. Hal ini kita lakukan dengan penuh kerelaan dan kegembiraan dan selalu diiringi dengan kesadaran bahwa kita belum berbuat apa-apa meskipun seorang anak itu memberikan hidup dan hartanya untuk kedua orang tuanya.

Keutamaan Menjadi Anak yang Berbakti

1. Termasuk Amal yang Paling Allah Cintai

Dari Abdullah bin Mas’ud, “Aku bertanya kepada Rasulullah, “Amal apakah yang paling Allah cintai.” Beliau bersabda, “Shalat pada waktunya,” Aku bertanya, “Kemudian apa?” Nabi bersabda, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya, “Kemudian apa?” Nabi bersabda, “Berjihad di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Masuk Surga

Dari Abu Hurairah, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celaka, celaka, dan celaka.” Ada yang bertanya, “Siapa dia wahai Rasulullah?” Nabi bersabda, “Dia adalah orang yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya dalam usia tua, akan tetapi kemudian dia tidak masuk surga.” (HR Muslim)

Dari Muawiyah bin Jahimah dari bapaknya radhiyallahu ‘anhu, aku menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bermusyawarah dengan beliau tentang jihad di jalan Allah. Nabi bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” “Ya,” kataku. Nabi pun bersabda, “Selalulah engkau berada di dekat keduanya. Karena sesungguhnya surga berada di bawah kaki keduanya.” (HR. Thabrani, al-Mundziri mengatakan sanadnya jayyid)

3. Panjang Umur dan Bertambah Rezeki

Dari Salman, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang bisa menolak takdir kecuali doa dan tidak ada yang bisa menambah umur kecuali amal kebaikan.” (HR. Turmudzi dan dihasankan oleh al-Albani)

Anas mengatakan, “Barang siapa yang ingin diberi umur dan rezeki yang panjang maka hendaklah berbakti kepada kedua orang tuanya dan menjalin hubungan dengan karib kerabatnya.” (HR. Ahmad)

4. Semua Amal Shalih Diterima dan Kesalahan-Kesalahan Diampuni

Allah ta’ala berfirman: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah . Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa, ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai, berilah kebaikan kepadaku dengan kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri’. Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka.” (QS al-Ahqaf: 15-16)

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu ada seorang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Sesungguhnya aku melakukan sebuah dosa yang sangat besar. Adakah cara taubat yang bisa ku lakukan?” Nabi bertanya, “Apakah engkau masih memiliki ibu.” “Tidak” jawabnya. Nabi bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki bibi dari pihak ibu.” “Ya,” jawabnya. Nabi bersabda, “Berbaktilah kepada bibimu.” (HR. Tirmidzi)

5. Mendapatkan Ridha Allah

Dari Abdullah bin Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ridha Allah tergantung ridha kedua orang tua dan murka Allah tergantung murka kedua orang tua.” (HR. Thabrani dan dishahihkan oleh al-Albani)

6. Diterima Doanya dan Hilangnya Kesusahan

Diantara dalilnya adalah kisah Ashabul Ghar, yaitu tiga orang yang tertangkap dalam goa. Salah satu diantaraa mereka adalah seorang yang sangat berbakti kepada kedua orang tuanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

7. Lebih Utama Daripada Hijrah dan Jihad

Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash ada seorang yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Aku hendak membaiatmu untuk berhijrah dan berjihad dalam rangka mengharap pahala dari Allah.” Nabi bertanya kepada keduanya, “Apakah diantara kedua orang tuamu ada yang masih hidup.” “Ya, kedua-duanya masih hidup.” Jawabnya. Nabi bertanya, “Engkau mengharap pahala dari Allah?” “Ya.” Jawabnya. Nabi bersabda, “Pulanglah, temui keduanya dan sikapilah keduanya dengan baik.” (HR. Muslim)

8. Orang Tua Ridha dan Mendoakan

Jika seorang anak berbakti kepada kedua orang tuanya, tentu keduanya akan senang, dan pertanda ridhanya kepadanya. Kemudian mendoakannya, sedangkan doa orang tua itu pasti terjawab.

Ada tiga orang yang doanya mustajab dan hal tersebut tidak perlu diragukan lagi. Tiga orang tersebut adalah doa orang yang teraniaya. Doa orang yang sedang bepergian dan doa orang tua untuk kebaikan anaknya. (HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh al-Abani)

9. Anak Kita Akan Berbakti Kepada Kita

Sikap bakti adalah hutang, maka sebagaimana kita berbakti kepada orang tua kita, maka anak kita pun akan berbakti kepada kita.

10. Tidak Akan Menyesal

Seorang anak yang tidak berbakti kepada kedua orang tuanya akan merasakan penyesalan ketika keduanya sudah meninggal dunia dan belum sempat berbakti.

11. Dipuji Banyak Orang

Bakti kepada kedua orang tua adalah sifat yang terpuji dan orang yang memiliki sifat ini pun akan mendapatkan pujian. Kisah Uwais al-Qorni adalah diantara dalil tentang hal ini.

12. Merupakan Sifat Para Nabi

Tentang Yahya ‘alaihis salam Allah ta’ala berfirman, “Dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.” (QS. Maryam: 14)

Tentang Isa ‘alaihis salam Allah ta’ala berfirman, “Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32)

Tentang Ismail ‘alaihis salam Allah ta’ala berfirman, “Maka tatkala anak itu sampai berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?’ Ia menjawab, ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.” (QS. ash-Shaffat: 102)

***

Penulis: Ustadz Aris Munandar
Sumber: Kumpulan Tulisan Ustadz Aris Munadar
Artikel www.muslimah.or.id
READ MORE - Bakti Kepada Orang Tua

Ucapan “Shadaqallahul ‘Azhim” setelah membaca Al Quran?

Diposting oleh AKHWATimoet di 22.25 0 komentar
Bacaan “shadaqallahul ‘azhim” setelah membaca Al Qur’an merupakan perkara yang tidak asing bagi kita tetapi sebenarnya tidak ada tuntunannya, termasuk amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam dan para sahabatnya, bahkan menyelisihi amalan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam ketika memerintahkan Ibnu Mas’ud untuk berhenti dari membaca Al Qur’an dengan kata “hasbuk”(cukup), dan Ibnu Mas’ud tidak membaca shadaqallahul’adzim.

Dalam Shahih Al Bukhari disebutkan:
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata bahwa Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam telah berkata kepadaku, “Bacakan kepadaku (Al Qur’an)!” Aku menjawab, “Aku bacakan (Al Qur’an) kepadamu? Padahal Al Qur’an sendiri diturunkan kepadamu.” Maka Beliau menjawab, “Ya”. Lalu aku membacakan surat An Nisaa’ sampai pada ayat 41. Lalu beliau berkata, “Cukup, cukup.” Lalu aku melihat beliau, ternyata kedua matanya meneteskan air mata.

Syaikh Muhammad Musa Nashr menyatakan, “Termasuk perbuatan yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah) yaitu mayoritas qori’ (orang yang membaca Al Qur’an) berhenti dan memutuskan bacaannya dengan mengatakan shadaqallahul ‘azhim, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghentikan bacaan Ibnu Mas’ud dengan mengatakan hasbuk (cukup). Inilah yg dikenal para salaf dan tidak ada keterangan bahwa mereka memberhentikan atau mereka berhenti dengan mengucapkan shadaqallahul ‘azhim sebagaimana dianggap baik oleh orang-orang sekarang”. (Al Bahtsu wa Al Istiqra’ fi Bida’ Al Qurra’, Dr Muhammad Musa Nashr, cet 2, th 1423H)

Kemudian beliau menukil pernyataaan Syaikh Mustafa bin Al ‘Adawi dalam kitabnya Shahih ‘Amal Al Yaumi Wa Al Lailhlm 64 yang berbunyi, “Keterangan tentang ucapan Shadaqallahul’azhim ketika selesai membaca Al Qur’an: memang kata shadaqallah disampaikan Allah dalam Al Qur’an dalam firman-Nya,

قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah:’Benarlah (apa yang difirmankan) Allah.’ Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.” (Qs Ali Imran:95)

Memang benar, Allah Maha Benar dalam setiap waktu. Namun masalahnya kita tidak pernah mendapatkan satu hadits pun yang menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhiri bacaannya dengan kata “Shadaqallahul’azhim.”

Di sana ada juga orang yang menganggap baik hal-hal yang lain namun kita memiliki Rasulullah shallallanhu’alaihi wa sallam sebagai contoh teladan yang baik. Demikian juga kita tidak menemukan satu atsar, meski dari satu orang sahabat walaupun kita mencukupkan pada hadits-hadits Nabi shallallanhu’alaihi wa sallam setelah kitab Allah dalam berdalil terhadap masalah apa pun. Kami telah merujuk kepada kitab Tafsir Ibnu Katsir, Adhwa’ Al Bayan, Mukhtashar Ibnu katsir dan Fathul Qadir, ternyata tak satu pun yang menyampaikan pada ayat ini, bahwa Rasulullah shallallanhu’alaihi wa sallam pernah mengakhiri bacaannya dengan shadaqallahul ‘azhim.(Lihat Hakikat Al Maru Bil Ma’ruf Wa Nahi ‘Anil munkar, Dr Hamd bin Nashir Al ‘Amar,cet 2)

Bila dikatakan “Cuma perkataan saja, apa dapat dikatakan bid’ah?” Perlu kita pahami,bahwa perbuatan bid’ah itu meliputi perkataan dan perbuatan sebagaimana sabda Rasulullah shallallanhu’alaihi wa sallam,

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR Muslim)

Sehingga apa pun bentuknya, perkataan atau perbuatan yang dimaksudkan untuk ibadah yang tidak ada contohnya dalam agama, maka ia dikategorikan bid’ah. Bid’ah ialah tata cara baru dalam agama yang tidak ada contohnya, yang menyelisihi syariat dan dalam mengamalkannya dimaksudkan sebagai ibadah kepada Allah.

Wallahu a’lam.

***
Artikel Muslimah.or.id

READ MORE - Ucapan “Shadaqallahul ‘Azhim” setelah membaca Al Quran?
Diposting oleh AKHWATimoet di 22.25 0 komentar
371
Share
Bacaan “shadaqallahul ‘azhim” setelah membaca Al Qur’an merupakan perkara yang tidak asing bagi kita tetapi sebenarnya tidak ada tuntunannya, termasuk amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam dan para sahabatnya, bahkan menyelisihi amalan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam ketika memerintahkan Ibnu Mas’ud untuk berhenti dari membaca Al Qur’an dengan kata “hasbuk”(cukup), dan Ibnu Mas’ud tidak membaca shadaqallahul’adzim.

Dalam Shahih Al Bukhari disebutkan:
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata bahwa Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam telah berkata kepadaku, “Bacakan kepadaku (Al Qur’an)!” Aku menjawab, “Aku bacakan (Al Qur’an) kepadamu? Padahal Al Qur’an sendiri diturunkan kepadamu.” Maka Beliau menjawab, “Ya”. Lalu aku membacakan surat An Nisaa’ sampai pada ayat 41. Lalu beliau berkata, “Cukup, cukup.” Lalu aku melihat beliau, ternyata kedua matanya meneteskan air mata.

Syaikh Muhammad Musa Nashr menyatakan, “Termasuk perbuatan yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah) yaitu mayoritas qori’ (orang yang membaca Al Qur’an) berhenti dan memutuskan bacaannya dengan mengatakan shadaqallahul ‘azhim, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghentikan bacaan Ibnu Mas’ud dengan mengatakan hasbuk (cukup). Inilah yg dikenal para salaf dan tidak ada keterangan bahwa mereka memberhentikan atau mereka berhenti dengan mengucapkan shadaqallahul ‘azhim sebagaimana dianggap baik oleh orang-orang sekarang”. (Al Bahtsu wa Al Istiqra’ fi Bida’ Al Qurra’, Dr Muhammad Musa Nashr, cet 2, th 1423H)

Kemudian beliau menukil pernyataaan Syaikh Mustafa bin Al ‘Adawi dalam kitabnya Shahih ‘Amal Al Yaumi Wa Al Lailhlm 64 yang berbunyi, “Keterangan tentang ucapan Shadaqallahul’azhim ketika selesai membaca Al Qur’an: memang kata shadaqallah disampaikan Allah dalam Al Qur’an dalam firman-Nya,

قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah:’Benarlah (apa yang difirmankan) Allah.’ Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.” (Qs Ali Imran:95)

Memang benar, Allah Maha Benar dalam setiap waktu. Namun masalahnya kita tidak pernah mendapatkan satu hadits pun yang menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhiri bacaannya dengan kata “Shadaqallahul’azhim.”

Di sana ada juga orang yang menganggap baik hal-hal yang lain namun kita memiliki Rasulullah shallallanhu’alaihi wa sallam sebagai contoh teladan yang baik. Demikian juga kita tidak menemukan satu atsar, meski dari satu orang sahabat walaupun kita mencukupkan pada hadits-hadits Nabi shallallanhu’alaihi wa sallam setelah kitab Allah dalam berdalil terhadap masalah apa pun. Kami telah merujuk kepada kitab Tafsir Ibnu Katsir, Adhwa’ Al Bayan, Mukhtashar Ibnu katsir dan Fathul Qadir, ternyata tak satu pun yang menyampaikan pada ayat ini, bahwa Rasulullah shallallanhu’alaihi wa sallam pernah mengakhiri bacaannya dengan shadaqallahul ‘azhim.(Lihat Hakikat Al Maru Bil Ma’ruf Wa Nahi ‘Anil munkar, Dr Hamd bin Nashir Al ‘Amar,cet 2)

Bila dikatakan “Cuma perkataan saja, apa dapat dikatakan bid’ah?” Perlu kita pahami,bahwa perbuatan bid’ah itu meliputi perkataan dan perbuatan sebagaimana sabda Rasulullah shallallanhu’alaihi wa sallam,

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR Muslim)

Sehingga apa pun bentuknya, perkataan atau perbuatan yang dimaksudkan untuk ibadah yang tidak ada contohnya dalam agama, maka ia dikategorikan bid’ah. Bid’ah ialah tata cara baru dalam agama yang tidak ada contohnya, yang menyelisihi syariat dan dalam mengamalkannya dimaksudkan sebagai ibadah kepada Allah.

Wallahu a’lam.

***
Artikel Muslimah.or.id
READ MORE -

Aurat Wanita di Depan Mahramnya

Diposting oleh AKHWATimoet di 22.20 0 komentar
Aurat adalah kemaluan dan semua hal yang dapat menimbulkan rasa malu apabila terlihat. Aurat merupakan perhiasan yang wajib ditutupi dari orang-orang yang tidak berhak untuk melihatnya dan atau menikmatinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingatkan kepada kita bahwa,

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ، وَبِأَنَّهَا إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِـهَا اسْتَشْـرَ فَهَا الشَّيْـطَانُ

“Wanita itu adalah aurat, jika ia keluar rumah, maka syaithan akan menghiasinya.” (Hadits shahih. Riwayat Tirmidzi no. 1173, Ibnu Khuzaimah III/95 dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir no. 10115, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma)

Imam al-Mubarakfuri rahimahullah berkata ketika mengomentari hadits di atas, “Dijadikan diri wanita sebagai aurat karena jika wanita muncul maka ia akan merasa malu, sebagaimana ia merasa malu melihat aurat manakala terbuka. Sehingga dikatakan bahwa maknanya wanita itu memiliki aurat.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi III/237 dan Syarah al-Arba’un al-Uswah no. 32)

Karena itu, kita sebagai kaum wanita haruslah menaruh perhatian yang besar terhadap masalah ini. Hanya saja, Allah ta’ala telah memberikan pengecualian mengenai larangan menampakkan aurat kepada beberapa orang yang menjadi mahram kita. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,

وَلاَ يُبْـدِيْنَ زِيْنَتَـهُـنَّ إِلاَّ لِبُعُو لَتِهِنَّ أَو ءَابَآ ئِهِنَّ أَو ءَابَآءِ بُعُو لَتِهِنَّ أَو أَبْنَآئِهِنَّ أَو أَبْنَآءِ بُعُو لَتِهِنَّ أَو إِخْوَنِهِنَّ أَو بَنِى إِخْوِنِهِنَّ أَو بَنِى أَخَوَتِهِنَّ أَو نِسَآئِهِنَّ أَو مَا مَلَكَتْ أَيْمَنُهُنَّ أَوِ التَّبِعِيْنَ غَيْرِ أُولِى الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَو الطِّـفْـلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلَى عَوْرَتِ النِّسَآءِ ۖ

“… dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak memiliki keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…” (Qs. An-Nuur: 31)

Kita telah memahami maksud larangan menampakkan perhiasan wanita di depan yang bukan mahramnya, lalu bagaimana maksud dan aplikasi pengecualian ini terhadap orang-orang yang menjadi mahram kita? Adakah batasan aurat yang boleh ditampakkan di depan mahram?

Batasan Aurat (Perhiasan) Wanita yang Boleh Tampak di Depan Mahram

Dari artikel sebelumnya, (Lihatlah Siapa Mahrammu 1, Lihatlah Siapa Mahrammu 2) kita telah mengetahui siapa saja yang termasuk mahram, dan siapa yang tidak termasuk mahram. Dalam surat an-Nuur ayat 31, Allah ta’ala membolehkan mahram melihat bagian-bagian dari perhiasan seorang wanita yang tidak boleh ditampakkan pada laki-laki yang bukan mahram. Hal ini dikarenakan keadaan darurat yang mendorong terjadinya percampur-bauran di antara mereka mengingat adanya hubungan kekerabatan dan amannya mereka (para mahram) dari fitnah. [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/157)]

Secara garis besar, ada dua pendapat ulama yang masyhur (populer) tentang batasan yang boleh dilihat oleh mahram, yaitu:

Pendapat pertama: Mahram boleh melihat seluruh tubuh wanita, kecuali bagian di antara pusar dan lutut, dan inilah pendapat kebanyakan ulama. [Lihat al-Mabsuuth (X/149), al-Majmuu' Fataawaa Ibn Taimiyah (XVI/140), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/158)]

Pendapat tersebut didasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَإِذَا أَنْكَحَ أَحَدُكُمْ عَبْدَهُ أَو أَجِيرَهُ فَلاَ يَنْظُرَنَّ إِلَى شَيْءٍ مِنْ عَورَتِهِ، فَإِنَّ مَا أَسْفَلَ مِنْ سُرَّتِهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ مِنْ عَوْرَتِهِ .

“Jika salah seorang di antara kalian menikahkan hamba sahaya atau pembantunya, maka jangan sekali-kali ia melihat sedikit pun dari auratnya. Karena apa yang ada di bawah pusar hingga lutut adalah aurat.” [Hadits hasan. Riwayat Ahmad (II/187) dan Abu Dawud (no. 495)]

Meskipun jika dilihat dari matan (redaksi) nya, hadits tersebut ditujukan kepada kaum lelaki, namun hadits tersebut berlaku juga bagi kaum wanita karena kaum wanita adalah saudara sekandung/belahan bagi kaum lelaki. Wanita belahan laki-laki maksudnya adalah masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dalam syariat, termasuk diantaranya adalah batasan aurat, menurut pendapat dia atas.

Diriwayatkan pula dari Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu,

ذَخَلْتُ أَنَا وَأَخُو عَائِشَةَ عَلَى عَائِشَةَ فَسَأَلَهَا أَخُوهَا عَنْ غُسْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَدَعَتْ بِإِنَاءٍ نَحْوًا مِنْ صَاعٍ فَاغْتَسَلَتْ وَأَفَاضَتْ عَلَى رَأْ سِهَا وَبَيْنَنَا وَبَيْنَهَا حِجَابٌ .

“Aku dan saudara ‘Aisyah datang kepada ‘Aisyah, lalu saudaranya itu bertanya kepadanya tentang mandi yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas ‘Aisyah meminta wadah yang berisi satu sha’ (air), kemudian ia mandi dan mengucurkan air di atas kepalanya. Sementara antara kami dan beliau ada tabir.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 251) dan Muslim (no. 320)]

Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Yang nampak dari hadits tersebut adalah bahwa keduanya (yakni Abu Salamah dan saudara ‘Aisyah) melihat apa yang dilakukan oleh ‘Aisyah pada kepala dan bagian atas tubuhnya, dimana itu adalah bagian yang boleh dilihat oleh seorang mahram, dan ‘Aisyah adalah bibinya Abu Salamah karena persusuan, sementara ‘Aisyah meletakkan tabir untuk menutupi bagian bawah tubuhnya, karena bagian tersebut adalah bagian yang tidak boleh dilihat oleh mahram.” [Lihat Fat-hul Baari (I/465)]

Sehingga, kesimpulan dari pendapat pertama adalah mahram boleh melihat seluruh tubuh wanita, kecuali bagian antara pusar hingga lutut.

Pendapat kedua: Seorang mahram hanya boleh melihat anggota tubuh wanita yang biasa nampak, seperti anggota-anggota tubuh yang terkena air wudhu’. [Lihat Sunan al-Baihaqi (no. 9417), al-Inshaaf (VIII/20), al-Mughni (VI/554), al-Majmuu' Fataawaa Ibn Taimiyah (XVI/140) dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/159)]

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Dahulu kaum lelaki dan wanita pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan wudhu’ secara bersamaan.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 193), Abu Dawud (no. 79), an-Nasa'i (I/57) dan Ibnu Majah (no. 381)]

Hadits di atas difahami sebagai suatu keadaan yang terjadi khusus bagi para istri dan mahram, di mana mahram boleh melihat anggota wudhu’ para wanita. [Lihat Fat-hul Baari (I/465), 'Aunul Ma'bud (I/147) dan Jaami' Ahkaamin Nisaa' (IV/195)]

Kesimpulan dari pendapat kedua adalah bahwa mahram hanya diperbolehkan untuk melihat anggota wudhu’ seorang wanita.

***

Batasan aurat wanita di depan suami. Allah ta’ala memulai firman-Nya dalam surat an-Nuur ayat 31 tentang bolehnya wanita menampakkan perhiasannya adalah kepada suami. Sebagaimana telah diketahui bahwa suami adalah mahram wanita yang terjadi akibat mushaharah (ikatan pernikahan). Dan suami boleh melihat dan menikmati seluruh anggota tubuh istrinya.Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan surat an-Nuur ayat 31, “Adapun suami, maka semua ini (bolehnya menampakkan perhiasan dan perintah menundukkan pandangan dari orang lain) memang diperuntukkan baginya (yakni suami). Maka seorang istri boleh melakukan sesuatu untuk suaminya, yang tidak boleh dilakukannya di hadapan orang lain.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]Allah ta’ala berfirman dalam kitab-Nya,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُو جِهِمْ حَفِظُونَ ۝ إِلاَّ عَلَى أَزْوَجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَنُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُمَلُومِينَ ۝

“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela.” (Qs. Al-Ma’arij: 29-30)

Ayat di atas menunjukkan bahwa seorang suami dihalalkan untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar memandangi perhiasan istrinya, yaitu menyentuh dan mendatangi istrinya. Jika seorang suami dihalalkan untuk menikmati perhiasan dan keindahan istrinya, maka apalagi hanya sekedar melihat dan menyentuh tubuh istrinya. [Lihat al-Mabsuuth (X/148) dan al-Muhalla (X/33)]

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku mandi bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana yang berada di antara aku dan beliau sambil tangan kami berebutan di dalamnya. Beliau mendahuluiku sehingga aku mengatakan, ‘Sisakan untukku, sisakan untukku!’ ‘Aisyah mengatakan bahwa keduanya dalam keadaan junub.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 250) dan Muslim (no. 46)]

Ibnu ‘Urwah al Hanbali rahimahullah berkata dalam mengomentari hadits di atas, “Dibolehkan bagi setiap pasangan suami istri untuk memandang seluruh tubuh pasangannya dan menyentuhnya hingga farji’ (kemaluan), berdasarkan hadits ini. Karena farji’ istrinya adalah halal baginya untuk dinikmati, maka dibolehkan pula baginya untuk memandang dan menjamahnya seperti anggota tubuhnya yang lain.” [Lihat Aadaabuz Zifaaf (hal. 111), al-Kawaakib (579/29/1), dan Panduan Lengkap Nikah (hal. 298)]

Jadi, tidak ada batasan bagi seorang suami untuk melihat keseluruhan aurat istrinya, termasuk kemaluannya.

Batasan aurat wanita di depan wanita lainnya. Aurat seorang wanita yang wajib ditutupi di depan kaum wanita lainnya, sama dengan aurat lelaki di depan kaum lelaki lainnya, yaitu daerah antara pusar hingga lutut. [Lihat al-Mughni (VI/562)]. Ibnul Jauzi berkata dalam kitabnya Ahkaamun Nisaa’ (hal. 76), “Wanita-wanita jahil (yang tidak mengerti) pada umumnya tidak merasa sungkan untuk membuka aurat atau sebagiannya, padahal di hadapannya ada ibunya atau saudara perempuannya atau putrinya, dan ia (wanita itu) berkata, “Mereka adalah kerabat (keluarga).’ Maka hendaklah wanita itu mengetahui bahwa jika ia telah mencapai usia tujuh tahun (tamyiz), karena itu, ibunya, saudarinya, ataupun putri saudarinya tidak boleh melihat auratnya.”Nabi shallallahu “alaihi wa sallam pernah bersabda,
يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ، وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ، وَلاَ يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِي الثَّوْبِ الْوَا حِدِ، وَلاَ تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةَ فِي الثَّوْبِ الْوَحِدِ .
و في روية : وَلاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عُـرْيَةِ الرَّجُلِ، وَلاَ تَنْظُرُ الْمَرْأَةُ إِلَى عُـرْيَةِ الْمَرْأَةِ .

“Janganlah seorang lelaki melihat aurat lelaki (lainnya), dan janganlah pula seorang wanita melihat aurat wanita (lainnya). Seorang pria tidak boleh bersama pria lain dalam satu kain, dan tidak boleh pula seorang wanita bersama wanita lainnya dalam satu kain.”

Dalam riwayat lain disebutkan,

“Tidak boleh seseorang pria melihat aurat pria lainnya, dan tidak boleh seorang wanita melihat aurat wanita lainnya” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 338), Abu Dawud (no. 3392 dan 4018), Tirmidzi (no. 2793), Ahmad (no. 11207) dan Ibnu Majah (no. 661), dari Abu Sa'id Al-Khudriy radhiyallahu "anhu]

Makna “uryah ( عـرية) (aurat) pada hadits di atas adalah tidak memakai pakaian (telanjang). [Lihat Panduan Lengkap Nikah (hal. 100)]

Adapun mengenai batasan aurat seorang wanita muslimah di depan wanita kafir, maka sebagian ulama berpendapat bahwa seorang wanita muslimah tidak boleh menampakkan perhiasannya kepada selain muslimah, karena lafazh أو نسآئهن yang tercantum dalam surat an-Nuur ayat 31 adalah dimaksudkan kepada wanita-wanita muslimah. Oleh karena itu, wanita-wanita dari kaum kuffar tidak termasuk ke dalam ayat tersebut, sehingga wanita muslimah tetap wajib untuk berhijab dari mereka. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284), Tafsir al-Qurthubi (no. 4625), Fat-hul Qaadir (IV/22) dan Jilbab Wanita Muslimah (hal. 118-119)]

Ada juga ulama yang berpendapat bahwa lafazh “أو نسآئهن bermakna wanita secara umum, baik dia seorang muslimah ataupun seorang wanita kafir. Dan kewajiban berhijab hanyalah diperuntukkan bagi kaum lelaki yang bukan mahram, sehingga tidak ada alasan untuk menetapkan kewajiban hijab di antara wanita muslimah dan wanita kafir. [Lihat Jaami' Ahkaamin Nisaa' (IV/498), Durus wa Fataawaa al-Haram al-Makki (III/264) dan Fataawaa al-Mar'ah (I/73)]

Namun, pendapat yang paling mendekati kebenaran dan keselamatan -insya Allah- adalah pendapat pertama, karena pada awal ayat tersebut (Qs. An-Nuur: 31), Allah ta’ala memulai perintah hijab dengan lafazh وقل للمؤمنت yang artinya, “Dan katakanlah kepada wanita-wanita mukminah…“. Maka lafazh selanjutnya, yaitu أو نسآئهن lebih dekat maknanya kepada wanita-wanita dari kalangan kaum muslimin. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]

Batasan aurat wanita di depan para budak. Di dalam ayat di atas, disebutkan أو ما ملكت أيمنهن atau budak-budak yang mereka miliki…”, di mana maksud ayat ini mencakup budak laki-laki maupun wanita. [Lihat al-Mabsuuth (X/157]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa seorang budak boleh melihat majikan wanitanya (dalam hal ini maksudnya adalah bertatap muka) karena kebutuhan. [Lihat Majmuu' al-Fataawaa (XVI/141)]Jadi seorang budak diperbolehkan melihat aurat majikan wanitanya sebatas yang biasa nampak, dan tidak lebih dari itu.
Batasan aurat wanita di depan orang yang tidak memiliki hasrat (syahwat) terhadap wanita. Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan lafazh أوِ التبعين غير أولى الإربة من الرجال, , “Maknanya adalah para pelayan dan pembantu yang tidak sepadan, sementara dalam akal mereka terdapat kelemahan.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]. Maksudnya adalah orang-orang tersebut tidak memiliki hasrat terhadap wanita disebabkan usianya yang sudah lanjut, kelainan seksual (banci), atau menderita penyakit seksual (impoten/lemah syahwat). [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/165)]. Jika melihat realita pada zaman sekarang ini, orang-orang tersebut memang tidak akan berhasrat kepada wanita, namun mereka memiliki kecenderungan untuk menceritakan keadaan kaum wanita kepada orang lain yang memiliki hasrat kepada wanita, sehingga dikhawatirkan akan timbul fitnah secara tidak langsung. Oleh karena itu, hendaklah para wanita tidak membuka aurat mereka, kecuali yang biasa nampak darinya.
Batasan aurat wanita di depan anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanitaMaksud lafazh أو الطـفـل الذين لم يظهروا على عورت النسآء adalah anak yang masih kecil dan tidak mengerti tentang keadaan kaum wanita dan aurat mereka. Anak yang belum memahami aurat, tidak mengapa bila dia masuk ke ruangan wanita. Adapun jika anak tersebut telah memasuki masa pubertas atau mendekatinya, di mana dia mulai mengerti tentang semua itu, dan dapat membedakan antara wanita yang cantik dan yang tidak cantik, maka dia tidak boleh lagi masuk ke dalam ruangan wanita. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]
Catatan Penting

Berikut ini adalah beberapa catatan penting yang harus diperhatikan dalam hal batasan aurat seorang wanita yang boleh ditampakkan di depan para mahram, yaitu:

Seorang mahram, kecuali suami wanita tersebut, boleh melihat perhiasan seorang wanita -berdasarkan pada penjelasan terdahulu- dengan syarat bukan dalam keadaan menikmatinya dan disertai dengan syahwat. Jika hal itu terjadi, maka tidak syak (ragu) dan tidak ada khilaf (perselisihan) dalam masalah ini bahwa hal itu terlarang hukumnya. [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/159)]
Seorang wanita boleh menanggalkan pakaiannya jika dia merasa aman dari kemungkinan adanya orang-orang asing yang dapat melihatnya dan ditempat orang-orang yang terpercaya (khusus yang menjadi mahramnya), di mana orang-orang tersebut mengetahui ketentuan-ketentuan Allah sehingga mereka menjaga kehormatan dan kesucian seorang muslimah. [Lihat Panduan Lengkap Nikah (hal. 103) dan tambahan penjelasan secara khusus dalam Syarah al-Arba'un al-Uswah (no. 26)]
Dan hendaknya seorang wanita tetap memelihara hijabnya dan menjaga auratnya kecuali yang biasa nampak darinya, di depan seluruh mahramnya -kecuali suami-, agar muru’ah (kehormatan) dan “iffah (kesucian diri) dapat senantiasa terjaga.
Seorang wanita muslimah harus senantiasa memperhatikan hal-hal yang dapat menjerumuskannya ke dalam lembah kemaksiatan. Dia diharuskan untuk menjaga dirinya dari fitnah yang dilancarkan setan dari berbagai penjuru. Untuk itu, rasa malu lebih wajib untuk dimiliki oleh kaum wanita, sehingga dengannya seorang wanita muslimah dapat menjadi uswah (teladan) bagi saudarinya yang lain dalam berakhlaqul karimah.

Wallahu a’lam wal musta’an.

***
artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits

tehirma.blogspot.com
READ MORE - Aurat Wanita di Depan Mahramnya

Senin, 21 Februari 2011

Bakti Kepada Orang Tua

Terdapat banyak ayat yang mendudukkan ridha orang tua setelah ridha Allah dan keutamaan berbakti kepada orang tua adalah sesudah keutamaan beriman kepada Allah. Allah berfirman yang artinya, “Dan Kami perintahkan kepada manusia kepada dua orang ibu-bapanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.” (QS. Lukman: 14). Lihat pula QS. al-Isra 23-24, an-Nisa 36, al-An’am 151, al-Ankabut 08.


Ada lima kriteria yang menunjukkan bentuk bakti seorang anak kepada kedua orang tuanya.

Pertama, tidak ada komentar yang tidak mengenakkan dikarenakan melihat atau tercium dari kedua orang tua kita sesuatu yang tidak enak. Akan tetapi memilih untuk tetap bersabar dan berharap pahala kepada Allah dengan hal tersebut, sebagaimana dulu keduanya bersabar terhadap bau-bau yang tidak enak yang muncul dari diri kita ketika kita masih kecil. Tidak ada rasa susah dan jemu terhadap orang tua sedikit pun.

Kedua, tidak menyusahkan kedua orang tua dengan ucapan yang menyakitkan.

Ketiga, mengucapkan ucapan yang lemah lembut kepada keduanya diiringi dengan sikap sopan santun yang menunjukkan penghormatan kepada keduanya. Tidak memanggil keduanya langsung dengan namanya, tidak bersuara keras di hadapan keduanya. Tidak menajamkan pandangan kepada keduanya (melotot) akan tetapi hendaknya pandangan kita kepadanya adalah pandangan penuh kelembutan dan ketawadhuan. Allah berfirman yang artinya, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. al-Isra: 24)

Urwah mengatakan jika kedua orang tuamu melakukan sesuatu yang menimbulkan kemarahanmu, maka janganlah engkau menajamkan pandangan kepada keduanya. Karena tanda pertama kemarahan seseorang adalah pandangan tajam yang dia tujukan kepada orang yang dia marahi.

Keempat, berdoa memohon kepada Allah agar Allah menyayangi keduanya sebagai balasan kasih sayang keduanya terhadap kita.

Kelima, bersikap tawadhu’ dan merendahkan diri kepada keduanya, dengan menaati keduanya selama tidak memerintahkan kemaksiatan kepada Allah serta sangat berkeinginan untuk memberikan apa yang diminta oleh keduanya sebagai wujud kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya.

Perintah Allah untuk berbuat baik kepada orang tua itu bersifat umum, mencakup hal-hal yang disukai oleh anak ataupun hal-hal yang tidak disukai oleh anak. Bahkan sampai-sampai al-Qur’an memberi wasiat kepada para anak agar berbakti kepada kedua orang tuanya meskipun mereka adalah orang-orang yang kafir.

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergauilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Lukman: 15)

Syarat Menjadi Anak Berbakti

Ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi, agar seorang anak bisa disebut sebagai anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya:

Satu, lebih mengutamakan ridha dan kesenangan kedua orang tua daripada ridha diri sendiri, isteri, anak, dan seluruh manusia.

Dua, menaati orang tua dalam semua apa yang mereka perintahkan dan mereka larang baik sesuai dengan keinginan anak ataupun tidak sesuai dengan keinginan anak. Selama keduanya tidak memerintahkan untuk kemaksiatan kepada Allah.

Tiga, memberikan untuk kedua orang tua kita segala sesuatu yang kita ketahui bahwa hal tersebut disukai oleh keduanya sebelum keduanya meminta hal itu. Hal ini kita lakukan dengan penuh kerelaan dan kegembiraan dan selalu diiringi dengan kesadaran bahwa kita belum berbuat apa-apa meskipun seorang anak itu memberikan hidup dan hartanya untuk kedua orang tuanya.

Keutamaan Menjadi Anak yang Berbakti

1. Termasuk Amal yang Paling Allah Cintai

Dari Abdullah bin Mas’ud, “Aku bertanya kepada Rasulullah, “Amal apakah yang paling Allah cintai.” Beliau bersabda, “Shalat pada waktunya,” Aku bertanya, “Kemudian apa?” Nabi bersabda, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya, “Kemudian apa?” Nabi bersabda, “Berjihad di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Masuk Surga

Dari Abu Hurairah, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celaka, celaka, dan celaka.” Ada yang bertanya, “Siapa dia wahai Rasulullah?” Nabi bersabda, “Dia adalah orang yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya dalam usia tua, akan tetapi kemudian dia tidak masuk surga.” (HR Muslim)

Dari Muawiyah bin Jahimah dari bapaknya radhiyallahu ‘anhu, aku menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bermusyawarah dengan beliau tentang jihad di jalan Allah. Nabi bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” “Ya,” kataku. Nabi pun bersabda, “Selalulah engkau berada di dekat keduanya. Karena sesungguhnya surga berada di bawah kaki keduanya.” (HR. Thabrani, al-Mundziri mengatakan sanadnya jayyid)

3. Panjang Umur dan Bertambah Rezeki

Dari Salman, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang bisa menolak takdir kecuali doa dan tidak ada yang bisa menambah umur kecuali amal kebaikan.” (HR. Turmudzi dan dihasankan oleh al-Albani)

Anas mengatakan, “Barang siapa yang ingin diberi umur dan rezeki yang panjang maka hendaklah berbakti kepada kedua orang tuanya dan menjalin hubungan dengan karib kerabatnya.” (HR. Ahmad)

4. Semua Amal Shalih Diterima dan Kesalahan-Kesalahan Diampuni

Allah ta’ala berfirman: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah . Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa, ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai, berilah kebaikan kepadaku dengan kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri’. Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka.” (QS al-Ahqaf: 15-16)

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu ada seorang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Sesungguhnya aku melakukan sebuah dosa yang sangat besar. Adakah cara taubat yang bisa ku lakukan?” Nabi bertanya, “Apakah engkau masih memiliki ibu.” “Tidak” jawabnya. Nabi bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki bibi dari pihak ibu.” “Ya,” jawabnya. Nabi bersabda, “Berbaktilah kepada bibimu.” (HR. Tirmidzi)

5. Mendapatkan Ridha Allah

Dari Abdullah bin Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ridha Allah tergantung ridha kedua orang tua dan murka Allah tergantung murka kedua orang tua.” (HR. Thabrani dan dishahihkan oleh al-Albani)

6. Diterima Doanya dan Hilangnya Kesusahan

Diantara dalilnya adalah kisah Ashabul Ghar, yaitu tiga orang yang tertangkap dalam goa. Salah satu diantaraa mereka adalah seorang yang sangat berbakti kepada kedua orang tuanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

7. Lebih Utama Daripada Hijrah dan Jihad

Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash ada seorang yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Aku hendak membaiatmu untuk berhijrah dan berjihad dalam rangka mengharap pahala dari Allah.” Nabi bertanya kepada keduanya, “Apakah diantara kedua orang tuamu ada yang masih hidup.” “Ya, kedua-duanya masih hidup.” Jawabnya. Nabi bertanya, “Engkau mengharap pahala dari Allah?” “Ya.” Jawabnya. Nabi bersabda, “Pulanglah, temui keduanya dan sikapilah keduanya dengan baik.” (HR. Muslim)

8. Orang Tua Ridha dan Mendoakan

Jika seorang anak berbakti kepada kedua orang tuanya, tentu keduanya akan senang, dan pertanda ridhanya kepadanya. Kemudian mendoakannya, sedangkan doa orang tua itu pasti terjawab.

Ada tiga orang yang doanya mustajab dan hal tersebut tidak perlu diragukan lagi. Tiga orang tersebut adalah doa orang yang teraniaya. Doa orang yang sedang bepergian dan doa orang tua untuk kebaikan anaknya. (HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh al-Abani)

9. Anak Kita Akan Berbakti Kepada Kita

Sikap bakti adalah hutang, maka sebagaimana kita berbakti kepada orang tua kita, maka anak kita pun akan berbakti kepada kita.

10. Tidak Akan Menyesal

Seorang anak yang tidak berbakti kepada kedua orang tuanya akan merasakan penyesalan ketika keduanya sudah meninggal dunia dan belum sempat berbakti.

11. Dipuji Banyak Orang

Bakti kepada kedua orang tua adalah sifat yang terpuji dan orang yang memiliki sifat ini pun akan mendapatkan pujian. Kisah Uwais al-Qorni adalah diantara dalil tentang hal ini.

12. Merupakan Sifat Para Nabi

Tentang Yahya ‘alaihis salam Allah ta’ala berfirman, “Dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.” (QS. Maryam: 14)

Tentang Isa ‘alaihis salam Allah ta’ala berfirman, “Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32)

Tentang Ismail ‘alaihis salam Allah ta’ala berfirman, “Maka tatkala anak itu sampai berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?’ Ia menjawab, ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.” (QS. ash-Shaffat: 102)

***

Penulis: Ustadz Aris Munandar
Sumber: Kumpulan Tulisan Ustadz Aris Munadar
Artikel www.muslimah.or.id

Ucapan “Shadaqallahul ‘Azhim” setelah membaca Al Quran?

Bacaan “shadaqallahul ‘azhim” setelah membaca Al Qur’an merupakan perkara yang tidak asing bagi kita tetapi sebenarnya tidak ada tuntunannya, termasuk amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam dan para sahabatnya, bahkan menyelisihi amalan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam ketika memerintahkan Ibnu Mas’ud untuk berhenti dari membaca Al Qur’an dengan kata “hasbuk”(cukup), dan Ibnu Mas’ud tidak membaca shadaqallahul’adzim.

Dalam Shahih Al Bukhari disebutkan:
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata bahwa Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam telah berkata kepadaku, “Bacakan kepadaku (Al Qur’an)!” Aku menjawab, “Aku bacakan (Al Qur’an) kepadamu? Padahal Al Qur’an sendiri diturunkan kepadamu.” Maka Beliau menjawab, “Ya”. Lalu aku membacakan surat An Nisaa’ sampai pada ayat 41. Lalu beliau berkata, “Cukup, cukup.” Lalu aku melihat beliau, ternyata kedua matanya meneteskan air mata.

Syaikh Muhammad Musa Nashr menyatakan, “Termasuk perbuatan yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah) yaitu mayoritas qori’ (orang yang membaca Al Qur’an) berhenti dan memutuskan bacaannya dengan mengatakan shadaqallahul ‘azhim, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghentikan bacaan Ibnu Mas’ud dengan mengatakan hasbuk (cukup). Inilah yg dikenal para salaf dan tidak ada keterangan bahwa mereka memberhentikan atau mereka berhenti dengan mengucapkan shadaqallahul ‘azhim sebagaimana dianggap baik oleh orang-orang sekarang”. (Al Bahtsu wa Al Istiqra’ fi Bida’ Al Qurra’, Dr Muhammad Musa Nashr, cet 2, th 1423H)

Kemudian beliau menukil pernyataaan Syaikh Mustafa bin Al ‘Adawi dalam kitabnya Shahih ‘Amal Al Yaumi Wa Al Lailhlm 64 yang berbunyi, “Keterangan tentang ucapan Shadaqallahul’azhim ketika selesai membaca Al Qur’an: memang kata shadaqallah disampaikan Allah dalam Al Qur’an dalam firman-Nya,

قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah:’Benarlah (apa yang difirmankan) Allah.’ Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.” (Qs Ali Imran:95)

Memang benar, Allah Maha Benar dalam setiap waktu. Namun masalahnya kita tidak pernah mendapatkan satu hadits pun yang menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhiri bacaannya dengan kata “Shadaqallahul’azhim.”

Di sana ada juga orang yang menganggap baik hal-hal yang lain namun kita memiliki Rasulullah shallallanhu’alaihi wa sallam sebagai contoh teladan yang baik. Demikian juga kita tidak menemukan satu atsar, meski dari satu orang sahabat walaupun kita mencukupkan pada hadits-hadits Nabi shallallanhu’alaihi wa sallam setelah kitab Allah dalam berdalil terhadap masalah apa pun. Kami telah merujuk kepada kitab Tafsir Ibnu Katsir, Adhwa’ Al Bayan, Mukhtashar Ibnu katsir dan Fathul Qadir, ternyata tak satu pun yang menyampaikan pada ayat ini, bahwa Rasulullah shallallanhu’alaihi wa sallam pernah mengakhiri bacaannya dengan shadaqallahul ‘azhim.(Lihat Hakikat Al Maru Bil Ma’ruf Wa Nahi ‘Anil munkar, Dr Hamd bin Nashir Al ‘Amar,cet 2)

Bila dikatakan “Cuma perkataan saja, apa dapat dikatakan bid’ah?” Perlu kita pahami,bahwa perbuatan bid’ah itu meliputi perkataan dan perbuatan sebagaimana sabda Rasulullah shallallanhu’alaihi wa sallam,

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR Muslim)

Sehingga apa pun bentuknya, perkataan atau perbuatan yang dimaksudkan untuk ibadah yang tidak ada contohnya dalam agama, maka ia dikategorikan bid’ah. Bid’ah ialah tata cara baru dalam agama yang tidak ada contohnya, yang menyelisihi syariat dan dalam mengamalkannya dimaksudkan sebagai ibadah kepada Allah.

Wallahu a’lam.

***
Artikel Muslimah.or.id

371
Share
Bacaan “shadaqallahul ‘azhim” setelah membaca Al Qur’an merupakan perkara yang tidak asing bagi kita tetapi sebenarnya tidak ada tuntunannya, termasuk amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam dan para sahabatnya, bahkan menyelisihi amalan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam ketika memerintahkan Ibnu Mas’ud untuk berhenti dari membaca Al Qur’an dengan kata “hasbuk”(cukup), dan Ibnu Mas’ud tidak membaca shadaqallahul’adzim.

Dalam Shahih Al Bukhari disebutkan:
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata bahwa Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam telah berkata kepadaku, “Bacakan kepadaku (Al Qur’an)!” Aku menjawab, “Aku bacakan (Al Qur’an) kepadamu? Padahal Al Qur’an sendiri diturunkan kepadamu.” Maka Beliau menjawab, “Ya”. Lalu aku membacakan surat An Nisaa’ sampai pada ayat 41. Lalu beliau berkata, “Cukup, cukup.” Lalu aku melihat beliau, ternyata kedua matanya meneteskan air mata.

Syaikh Muhammad Musa Nashr menyatakan, “Termasuk perbuatan yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah) yaitu mayoritas qori’ (orang yang membaca Al Qur’an) berhenti dan memutuskan bacaannya dengan mengatakan shadaqallahul ‘azhim, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghentikan bacaan Ibnu Mas’ud dengan mengatakan hasbuk (cukup). Inilah yg dikenal para salaf dan tidak ada keterangan bahwa mereka memberhentikan atau mereka berhenti dengan mengucapkan shadaqallahul ‘azhim sebagaimana dianggap baik oleh orang-orang sekarang”. (Al Bahtsu wa Al Istiqra’ fi Bida’ Al Qurra’, Dr Muhammad Musa Nashr, cet 2, th 1423H)

Kemudian beliau menukil pernyataaan Syaikh Mustafa bin Al ‘Adawi dalam kitabnya Shahih ‘Amal Al Yaumi Wa Al Lailhlm 64 yang berbunyi, “Keterangan tentang ucapan Shadaqallahul’azhim ketika selesai membaca Al Qur’an: memang kata shadaqallah disampaikan Allah dalam Al Qur’an dalam firman-Nya,

قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah:’Benarlah (apa yang difirmankan) Allah.’ Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.” (Qs Ali Imran:95)

Memang benar, Allah Maha Benar dalam setiap waktu. Namun masalahnya kita tidak pernah mendapatkan satu hadits pun yang menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhiri bacaannya dengan kata “Shadaqallahul’azhim.”

Di sana ada juga orang yang menganggap baik hal-hal yang lain namun kita memiliki Rasulullah shallallanhu’alaihi wa sallam sebagai contoh teladan yang baik. Demikian juga kita tidak menemukan satu atsar, meski dari satu orang sahabat walaupun kita mencukupkan pada hadits-hadits Nabi shallallanhu’alaihi wa sallam setelah kitab Allah dalam berdalil terhadap masalah apa pun. Kami telah merujuk kepada kitab Tafsir Ibnu Katsir, Adhwa’ Al Bayan, Mukhtashar Ibnu katsir dan Fathul Qadir, ternyata tak satu pun yang menyampaikan pada ayat ini, bahwa Rasulullah shallallanhu’alaihi wa sallam pernah mengakhiri bacaannya dengan shadaqallahul ‘azhim.(Lihat Hakikat Al Maru Bil Ma’ruf Wa Nahi ‘Anil munkar, Dr Hamd bin Nashir Al ‘Amar,cet 2)

Bila dikatakan “Cuma perkataan saja, apa dapat dikatakan bid’ah?” Perlu kita pahami,bahwa perbuatan bid’ah itu meliputi perkataan dan perbuatan sebagaimana sabda Rasulullah shallallanhu’alaihi wa sallam,

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR Muslim)

Sehingga apa pun bentuknya, perkataan atau perbuatan yang dimaksudkan untuk ibadah yang tidak ada contohnya dalam agama, maka ia dikategorikan bid’ah. Bid’ah ialah tata cara baru dalam agama yang tidak ada contohnya, yang menyelisihi syariat dan dalam mengamalkannya dimaksudkan sebagai ibadah kepada Allah.

Wallahu a’lam.

***
Artikel Muslimah.or.id

Aurat Wanita di Depan Mahramnya

Aurat adalah kemaluan dan semua hal yang dapat menimbulkan rasa malu apabila terlihat. Aurat merupakan perhiasan yang wajib ditutupi dari orang-orang yang tidak berhak untuk melihatnya dan atau menikmatinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingatkan kepada kita bahwa,

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ، وَبِأَنَّهَا إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِـهَا اسْتَشْـرَ فَهَا الشَّيْـطَانُ

“Wanita itu adalah aurat, jika ia keluar rumah, maka syaithan akan menghiasinya.” (Hadits shahih. Riwayat Tirmidzi no. 1173, Ibnu Khuzaimah III/95 dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir no. 10115, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma)

Imam al-Mubarakfuri rahimahullah berkata ketika mengomentari hadits di atas, “Dijadikan diri wanita sebagai aurat karena jika wanita muncul maka ia akan merasa malu, sebagaimana ia merasa malu melihat aurat manakala terbuka. Sehingga dikatakan bahwa maknanya wanita itu memiliki aurat.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi III/237 dan Syarah al-Arba’un al-Uswah no. 32)

Karena itu, kita sebagai kaum wanita haruslah menaruh perhatian yang besar terhadap masalah ini. Hanya saja, Allah ta’ala telah memberikan pengecualian mengenai larangan menampakkan aurat kepada beberapa orang yang menjadi mahram kita. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,

وَلاَ يُبْـدِيْنَ زِيْنَتَـهُـنَّ إِلاَّ لِبُعُو لَتِهِنَّ أَو ءَابَآ ئِهِنَّ أَو ءَابَآءِ بُعُو لَتِهِنَّ أَو أَبْنَآئِهِنَّ أَو أَبْنَآءِ بُعُو لَتِهِنَّ أَو إِخْوَنِهِنَّ أَو بَنِى إِخْوِنِهِنَّ أَو بَنِى أَخَوَتِهِنَّ أَو نِسَآئِهِنَّ أَو مَا مَلَكَتْ أَيْمَنُهُنَّ أَوِ التَّبِعِيْنَ غَيْرِ أُولِى الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَو الطِّـفْـلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلَى عَوْرَتِ النِّسَآءِ ۖ

“… dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak memiliki keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…” (Qs. An-Nuur: 31)

Kita telah memahami maksud larangan menampakkan perhiasan wanita di depan yang bukan mahramnya, lalu bagaimana maksud dan aplikasi pengecualian ini terhadap orang-orang yang menjadi mahram kita? Adakah batasan aurat yang boleh ditampakkan di depan mahram?

Batasan Aurat (Perhiasan) Wanita yang Boleh Tampak di Depan Mahram

Dari artikel sebelumnya, (Lihatlah Siapa Mahrammu 1, Lihatlah Siapa Mahrammu 2) kita telah mengetahui siapa saja yang termasuk mahram, dan siapa yang tidak termasuk mahram. Dalam surat an-Nuur ayat 31, Allah ta’ala membolehkan mahram melihat bagian-bagian dari perhiasan seorang wanita yang tidak boleh ditampakkan pada laki-laki yang bukan mahram. Hal ini dikarenakan keadaan darurat yang mendorong terjadinya percampur-bauran di antara mereka mengingat adanya hubungan kekerabatan dan amannya mereka (para mahram) dari fitnah. [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/157)]

Secara garis besar, ada dua pendapat ulama yang masyhur (populer) tentang batasan yang boleh dilihat oleh mahram, yaitu:

Pendapat pertama: Mahram boleh melihat seluruh tubuh wanita, kecuali bagian di antara pusar dan lutut, dan inilah pendapat kebanyakan ulama. [Lihat al-Mabsuuth (X/149), al-Majmuu' Fataawaa Ibn Taimiyah (XVI/140), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/158)]

Pendapat tersebut didasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَإِذَا أَنْكَحَ أَحَدُكُمْ عَبْدَهُ أَو أَجِيرَهُ فَلاَ يَنْظُرَنَّ إِلَى شَيْءٍ مِنْ عَورَتِهِ، فَإِنَّ مَا أَسْفَلَ مِنْ سُرَّتِهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ مِنْ عَوْرَتِهِ .

“Jika salah seorang di antara kalian menikahkan hamba sahaya atau pembantunya, maka jangan sekali-kali ia melihat sedikit pun dari auratnya. Karena apa yang ada di bawah pusar hingga lutut adalah aurat.” [Hadits hasan. Riwayat Ahmad (II/187) dan Abu Dawud (no. 495)]

Meskipun jika dilihat dari matan (redaksi) nya, hadits tersebut ditujukan kepada kaum lelaki, namun hadits tersebut berlaku juga bagi kaum wanita karena kaum wanita adalah saudara sekandung/belahan bagi kaum lelaki. Wanita belahan laki-laki maksudnya adalah masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dalam syariat, termasuk diantaranya adalah batasan aurat, menurut pendapat dia atas.

Diriwayatkan pula dari Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu,

ذَخَلْتُ أَنَا وَأَخُو عَائِشَةَ عَلَى عَائِشَةَ فَسَأَلَهَا أَخُوهَا عَنْ غُسْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَدَعَتْ بِإِنَاءٍ نَحْوًا مِنْ صَاعٍ فَاغْتَسَلَتْ وَأَفَاضَتْ عَلَى رَأْ سِهَا وَبَيْنَنَا وَبَيْنَهَا حِجَابٌ .

“Aku dan saudara ‘Aisyah datang kepada ‘Aisyah, lalu saudaranya itu bertanya kepadanya tentang mandi yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas ‘Aisyah meminta wadah yang berisi satu sha’ (air), kemudian ia mandi dan mengucurkan air di atas kepalanya. Sementara antara kami dan beliau ada tabir.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 251) dan Muslim (no. 320)]

Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Yang nampak dari hadits tersebut adalah bahwa keduanya (yakni Abu Salamah dan saudara ‘Aisyah) melihat apa yang dilakukan oleh ‘Aisyah pada kepala dan bagian atas tubuhnya, dimana itu adalah bagian yang boleh dilihat oleh seorang mahram, dan ‘Aisyah adalah bibinya Abu Salamah karena persusuan, sementara ‘Aisyah meletakkan tabir untuk menutupi bagian bawah tubuhnya, karena bagian tersebut adalah bagian yang tidak boleh dilihat oleh mahram.” [Lihat Fat-hul Baari (I/465)]

Sehingga, kesimpulan dari pendapat pertama adalah mahram boleh melihat seluruh tubuh wanita, kecuali bagian antara pusar hingga lutut.

Pendapat kedua: Seorang mahram hanya boleh melihat anggota tubuh wanita yang biasa nampak, seperti anggota-anggota tubuh yang terkena air wudhu’. [Lihat Sunan al-Baihaqi (no. 9417), al-Inshaaf (VIII/20), al-Mughni (VI/554), al-Majmuu' Fataawaa Ibn Taimiyah (XVI/140) dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/159)]

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Dahulu kaum lelaki dan wanita pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan wudhu’ secara bersamaan.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 193), Abu Dawud (no. 79), an-Nasa'i (I/57) dan Ibnu Majah (no. 381)]

Hadits di atas difahami sebagai suatu keadaan yang terjadi khusus bagi para istri dan mahram, di mana mahram boleh melihat anggota wudhu’ para wanita. [Lihat Fat-hul Baari (I/465), 'Aunul Ma'bud (I/147) dan Jaami' Ahkaamin Nisaa' (IV/195)]

Kesimpulan dari pendapat kedua adalah bahwa mahram hanya diperbolehkan untuk melihat anggota wudhu’ seorang wanita.

***

Batasan aurat wanita di depan suami. Allah ta’ala memulai firman-Nya dalam surat an-Nuur ayat 31 tentang bolehnya wanita menampakkan perhiasannya adalah kepada suami. Sebagaimana telah diketahui bahwa suami adalah mahram wanita yang terjadi akibat mushaharah (ikatan pernikahan). Dan suami boleh melihat dan menikmati seluruh anggota tubuh istrinya.Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan surat an-Nuur ayat 31, “Adapun suami, maka semua ini (bolehnya menampakkan perhiasan dan perintah menundukkan pandangan dari orang lain) memang diperuntukkan baginya (yakni suami). Maka seorang istri boleh melakukan sesuatu untuk suaminya, yang tidak boleh dilakukannya di hadapan orang lain.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]Allah ta’ala berfirman dalam kitab-Nya,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُو جِهِمْ حَفِظُونَ ۝ إِلاَّ عَلَى أَزْوَجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَنُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُمَلُومِينَ ۝

“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela.” (Qs. Al-Ma’arij: 29-30)

Ayat di atas menunjukkan bahwa seorang suami dihalalkan untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar memandangi perhiasan istrinya, yaitu menyentuh dan mendatangi istrinya. Jika seorang suami dihalalkan untuk menikmati perhiasan dan keindahan istrinya, maka apalagi hanya sekedar melihat dan menyentuh tubuh istrinya. [Lihat al-Mabsuuth (X/148) dan al-Muhalla (X/33)]

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku mandi bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana yang berada di antara aku dan beliau sambil tangan kami berebutan di dalamnya. Beliau mendahuluiku sehingga aku mengatakan, ‘Sisakan untukku, sisakan untukku!’ ‘Aisyah mengatakan bahwa keduanya dalam keadaan junub.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 250) dan Muslim (no. 46)]

Ibnu ‘Urwah al Hanbali rahimahullah berkata dalam mengomentari hadits di atas, “Dibolehkan bagi setiap pasangan suami istri untuk memandang seluruh tubuh pasangannya dan menyentuhnya hingga farji’ (kemaluan), berdasarkan hadits ini. Karena farji’ istrinya adalah halal baginya untuk dinikmati, maka dibolehkan pula baginya untuk memandang dan menjamahnya seperti anggota tubuhnya yang lain.” [Lihat Aadaabuz Zifaaf (hal. 111), al-Kawaakib (579/29/1), dan Panduan Lengkap Nikah (hal. 298)]

Jadi, tidak ada batasan bagi seorang suami untuk melihat keseluruhan aurat istrinya, termasuk kemaluannya.

Batasan aurat wanita di depan wanita lainnya. Aurat seorang wanita yang wajib ditutupi di depan kaum wanita lainnya, sama dengan aurat lelaki di depan kaum lelaki lainnya, yaitu daerah antara pusar hingga lutut. [Lihat al-Mughni (VI/562)]. Ibnul Jauzi berkata dalam kitabnya Ahkaamun Nisaa’ (hal. 76), “Wanita-wanita jahil (yang tidak mengerti) pada umumnya tidak merasa sungkan untuk membuka aurat atau sebagiannya, padahal di hadapannya ada ibunya atau saudara perempuannya atau putrinya, dan ia (wanita itu) berkata, “Mereka adalah kerabat (keluarga).’ Maka hendaklah wanita itu mengetahui bahwa jika ia telah mencapai usia tujuh tahun (tamyiz), karena itu, ibunya, saudarinya, ataupun putri saudarinya tidak boleh melihat auratnya.”Nabi shallallahu “alaihi wa sallam pernah bersabda,
يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ، وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ، وَلاَ يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِي الثَّوْبِ الْوَا حِدِ، وَلاَ تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةَ فِي الثَّوْبِ الْوَحِدِ .
و في روية : وَلاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عُـرْيَةِ الرَّجُلِ، وَلاَ تَنْظُرُ الْمَرْأَةُ إِلَى عُـرْيَةِ الْمَرْأَةِ .

“Janganlah seorang lelaki melihat aurat lelaki (lainnya), dan janganlah pula seorang wanita melihat aurat wanita (lainnya). Seorang pria tidak boleh bersama pria lain dalam satu kain, dan tidak boleh pula seorang wanita bersama wanita lainnya dalam satu kain.”

Dalam riwayat lain disebutkan,

“Tidak boleh seseorang pria melihat aurat pria lainnya, dan tidak boleh seorang wanita melihat aurat wanita lainnya” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 338), Abu Dawud (no. 3392 dan 4018), Tirmidzi (no. 2793), Ahmad (no. 11207) dan Ibnu Majah (no. 661), dari Abu Sa'id Al-Khudriy radhiyallahu "anhu]

Makna “uryah ( عـرية) (aurat) pada hadits di atas adalah tidak memakai pakaian (telanjang). [Lihat Panduan Lengkap Nikah (hal. 100)]

Adapun mengenai batasan aurat seorang wanita muslimah di depan wanita kafir, maka sebagian ulama berpendapat bahwa seorang wanita muslimah tidak boleh menampakkan perhiasannya kepada selain muslimah, karena lafazh أو نسآئهن yang tercantum dalam surat an-Nuur ayat 31 adalah dimaksudkan kepada wanita-wanita muslimah. Oleh karena itu, wanita-wanita dari kaum kuffar tidak termasuk ke dalam ayat tersebut, sehingga wanita muslimah tetap wajib untuk berhijab dari mereka. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284), Tafsir al-Qurthubi (no. 4625), Fat-hul Qaadir (IV/22) dan Jilbab Wanita Muslimah (hal. 118-119)]

Ada juga ulama yang berpendapat bahwa lafazh “أو نسآئهن bermakna wanita secara umum, baik dia seorang muslimah ataupun seorang wanita kafir. Dan kewajiban berhijab hanyalah diperuntukkan bagi kaum lelaki yang bukan mahram, sehingga tidak ada alasan untuk menetapkan kewajiban hijab di antara wanita muslimah dan wanita kafir. [Lihat Jaami' Ahkaamin Nisaa' (IV/498), Durus wa Fataawaa al-Haram al-Makki (III/264) dan Fataawaa al-Mar'ah (I/73)]

Namun, pendapat yang paling mendekati kebenaran dan keselamatan -insya Allah- adalah pendapat pertama, karena pada awal ayat tersebut (Qs. An-Nuur: 31), Allah ta’ala memulai perintah hijab dengan lafazh وقل للمؤمنت yang artinya, “Dan katakanlah kepada wanita-wanita mukminah…“. Maka lafazh selanjutnya, yaitu أو نسآئهن lebih dekat maknanya kepada wanita-wanita dari kalangan kaum muslimin. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]

Batasan aurat wanita di depan para budak. Di dalam ayat di atas, disebutkan أو ما ملكت أيمنهن atau budak-budak yang mereka miliki…”, di mana maksud ayat ini mencakup budak laki-laki maupun wanita. [Lihat al-Mabsuuth (X/157]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa seorang budak boleh melihat majikan wanitanya (dalam hal ini maksudnya adalah bertatap muka) karena kebutuhan. [Lihat Majmuu' al-Fataawaa (XVI/141)]Jadi seorang budak diperbolehkan melihat aurat majikan wanitanya sebatas yang biasa nampak, dan tidak lebih dari itu.
Batasan aurat wanita di depan orang yang tidak memiliki hasrat (syahwat) terhadap wanita. Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan lafazh أوِ التبعين غير أولى الإربة من الرجال, , “Maknanya adalah para pelayan dan pembantu yang tidak sepadan, sementara dalam akal mereka terdapat kelemahan.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]. Maksudnya adalah orang-orang tersebut tidak memiliki hasrat terhadap wanita disebabkan usianya yang sudah lanjut, kelainan seksual (banci), atau menderita penyakit seksual (impoten/lemah syahwat). [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/165)]. Jika melihat realita pada zaman sekarang ini, orang-orang tersebut memang tidak akan berhasrat kepada wanita, namun mereka memiliki kecenderungan untuk menceritakan keadaan kaum wanita kepada orang lain yang memiliki hasrat kepada wanita, sehingga dikhawatirkan akan timbul fitnah secara tidak langsung. Oleh karena itu, hendaklah para wanita tidak membuka aurat mereka, kecuali yang biasa nampak darinya.
Batasan aurat wanita di depan anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanitaMaksud lafazh أو الطـفـل الذين لم يظهروا على عورت النسآء adalah anak yang masih kecil dan tidak mengerti tentang keadaan kaum wanita dan aurat mereka. Anak yang belum memahami aurat, tidak mengapa bila dia masuk ke ruangan wanita. Adapun jika anak tersebut telah memasuki masa pubertas atau mendekatinya, di mana dia mulai mengerti tentang semua itu, dan dapat membedakan antara wanita yang cantik dan yang tidak cantik, maka dia tidak boleh lagi masuk ke dalam ruangan wanita. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]
Catatan Penting

Berikut ini adalah beberapa catatan penting yang harus diperhatikan dalam hal batasan aurat seorang wanita yang boleh ditampakkan di depan para mahram, yaitu:

Seorang mahram, kecuali suami wanita tersebut, boleh melihat perhiasan seorang wanita -berdasarkan pada penjelasan terdahulu- dengan syarat bukan dalam keadaan menikmatinya dan disertai dengan syahwat. Jika hal itu terjadi, maka tidak syak (ragu) dan tidak ada khilaf (perselisihan) dalam masalah ini bahwa hal itu terlarang hukumnya. [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/159)]
Seorang wanita boleh menanggalkan pakaiannya jika dia merasa aman dari kemungkinan adanya orang-orang asing yang dapat melihatnya dan ditempat orang-orang yang terpercaya (khusus yang menjadi mahramnya), di mana orang-orang tersebut mengetahui ketentuan-ketentuan Allah sehingga mereka menjaga kehormatan dan kesucian seorang muslimah. [Lihat Panduan Lengkap Nikah (hal. 103) dan tambahan penjelasan secara khusus dalam Syarah al-Arba'un al-Uswah (no. 26)]
Dan hendaknya seorang wanita tetap memelihara hijabnya dan menjaga auratnya kecuali yang biasa nampak darinya, di depan seluruh mahramnya -kecuali suami-, agar muru’ah (kehormatan) dan “iffah (kesucian diri) dapat senantiasa terjaga.
Seorang wanita muslimah harus senantiasa memperhatikan hal-hal yang dapat menjerumuskannya ke dalam lembah kemaksiatan. Dia diharuskan untuk menjaga dirinya dari fitnah yang dilancarkan setan dari berbagai penjuru. Untuk itu, rasa malu lebih wajib untuk dimiliki oleh kaum wanita, sehingga dengannya seorang wanita muslimah dapat menjadi uswah (teladan) bagi saudarinya yang lain dalam berakhlaqul karimah.

Wallahu a’lam wal musta’an.

***
artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits

tehirma.blogspot.com
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

AKHWATimoet Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by Celebrity Gossip