b:include data='blog' name='all-head-content'/>
bismillah

Welcome

31. Katakanlah ( Muhammad ), " Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. " Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang,
32. Katakanlah ( Muhammad ), " Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-org kafir. " ( QS. Ali Imron : 31-32 )
Fruity Cherry Heart

Selasa, 28 Desember 2010

Rasa Ini,,,

Diposting oleh AKHWATimoet di 00.41 0 komentar

Cinta sebagaimana fitrahnya merupakan anugerah dan menurutku cinta juga musibah. Cinta menjadi kenikmatan dan keindahan bila karena Alloh SWT dan dijalan-Nya (Al-Hubb Fillah wa Lillah). Cinta Islami (entah memang chalal sebelum ikatan pernikahan???) demikian tidaklah mengenal batas ruang dan waktu serta melampaui batas fisik materi. Perasaan cinta pada dasarnya sebuah kenikmatan dan keindahan. Betapa indahnya hidup yang dipenuhi cinta sejati dan betapa sengsaranya hidup yang dipenuhi kebencian. Orang yang dipenuhi semangat cinta yang suci mulia akan selalu merasa bahagia sebelum orang lain bahagia sehingga mendorongnya untuk memiliki sikap tenang, damai, dan ridha. Dan aku pernah merasakan indahnya cinta itu. ^.^

Perasaan cinta yang dialami setiap jiwa manusia (termasuk aku ya ^.^) memang sebuah misteri sebagaimana fenomena ruh (jiwa). Teringat ngendikan Guru waktu masih sekolah “Nabi saw. bersabda: “Ruh itu laksana pasukan yang dikerahkan, maka seberapa jauh mereka saling mengenal maka sejauh itu pula mereka saling menyatu, dan seberapa jauh mereka tidak saling mengenal maka sejauh itu pula mereka akan berselisih.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud). “

Cinta memang persoalan hati (Qolbun) dan hati seperti namanya adalah bersifat labil, menurutku sering berubah – ubah sehingga yang diperlukan adalah upaya maksimal lahir bathin dalam pengendaliannya secara adil untuk setiap yang berhak atasnya. Nabi saw memaklumi fenomena bathin ini dalam sabda beliau:

“Ya Alloh, inilah usahaku sebatas kuasaku, maka janganlah Engkau cela diriku tentang apa yang Engkau kuasai dan aku tidak kuasai (hati).” (HR. Abu Dawud).

“Ada tiga perkara yang siapa pun memilikinya niscaya akan merasakan kelezatan iman; barang siapa yang Alloh dan Rosul-Nya lebih ia cintai dari lainnya, barang siapa yang mencintai seseorang hanya karena Alloh, dan siapa yang benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dicampakkan ke dalam neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Proses menuju cinta suci yang diberkahi Alloh tidaklah mudah sehingga memerlukan upaya pengendalian diri termasuk pengendalian ego dan penumbuhan rasa empati serta solidaritas sebagai persyaratan iman. Sabda Nabi SAW:

“Tidaklah beriman seseorang di antara kalian sampai ia mencintai saudaranya (seiman) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” Bahkan cinta sesama mukmin merupakan syarat masuk surga “Tidaklah kalian akan masuk surga sampai kalian beriman dan kalian tidak akan beriman sehingga kalian saling mencintai.” (HR. Muslim)

Adapun cinta yang arif sejati adalah sebagaimana cinta Allah kepada hamba-Nya dan cinta Rosululloh kepada umatnya sehingga yang diinginkan Alloh dari hamba-hamba-Nya hanyalah kebaikan, kesempurnaan dan kemuliaan dengan membenci segala kemungkaran dan kejahatan. (QS. Fathir: 35, Al-Kahfi: 18).

Cinta karena Alloh dan benci karena Alloh akan menjadi filter, kontrol sekaligus tolok ukur dalam mencintai segala hal. Dengan demikian cinta yang tulus karena Alloh, Dzat Maha Abadi inilah yang akan bertahan abadi sementara cinta yang dilandasi motif lainnya justru yang akan cepat berubah, bersifat temporer dan akan membuahkan penyesalan. (QS. Az-Zukhruf: 43, Al-Furqan: 25)

Sungguh Maha Benar Alloh dengan segala Firman-Nya. Kini kurasakan akibat cinta yang dilandasi hawa nafsu. Tak bertahan lama. Semoga semua kesalahan dan dosa dalam memaknai dan merasakan cinta yang tak sejati akan terhapus manakala diri ini merasakan CINTA ISLAMI dari Ilaahii Robbii sebagai penyemangat dalam ibadah dan menuju cahaya hati (Nouro Qolby). Kawan, ini sedikit cerita dari diriku yang lemah, penuh dosa. Semoga dapat bermanfa’at dan sebagai pembelajaran dalam hal menanggapi perasaan serius, yaitu : CINTA…. Aku hanya ingin satu cinta yang mampu mengantarkan cinta abadi kepada Pencipta.
READ MORE - Rasa Ini,,,

Mengenal Lebih Dekat Abu Bakar As-Shiddiq

Diposting oleh AKHWATimoet di 00.34 0 komentar
Abu Bakar As Siddiq ayah dari Aisyah istri Nabi Muhammad SAW. Namanya yang sebenarnya adalah Abdul Ka’bah (artinya ‘hamba Ka’bah’), yang kemudian diubah oleh Rasulullah Saw menjadi Abdullah (artinya ‘hamba Allah’). Abu Bakar As Siddiq atau Abdullah bin Abi Quhafah (Usman) bin Amir bin Amru bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib bin Fihr al-Quraisy at-Taimi. Bertemu nasabnya dengan Nabi saw kakeknya Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai, kakek yang keenam. Dan ibunya, Ummul-Khair, sebenarnya bernama Salma binti Sakhr bin Amir bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim. Nabi Muhammad Saw juga memberinya gelar As Siddiq (artinya ‘yang berkata benar’), sehingga ia lebih dikenal dengan nama Abu Bakar as-Siddiq.

Abu Bakar As Siddiq tumbuh dan besar di Mekah dan tidak pernah keluar dari Mekah kecuali untuk tujuan dagang dan bisnis. Beliau memiliki harta kekayaan yang sangat banyak dan kepribadian yang sangat menarik, memiliki kebaikan yang sangat banyak, dan sering melakukan perbuatan-perbuatan yang terpuji. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu Dughunnah, sesungguhnya engkau selalu menyambung tali kasih dan keluarga, bicaramu selalu benar, dan kau menanggung banyak kesulitan, kau bantu orang-orang yang menderita dan kau hormati tamu.

An-Nawawi berkata: Abu Bakar As Siddiq termasuk tokoh Quraisy dimasa Jahiliyah, orang yang selalu dimintai nasehat dan pertimbangannya, sangat dicintai dikalangan mereka, sangat mengetahui kode etik dikalangan mereka. Tatkala, Islam datang Abu Bakar As Siddiq mengedepankan Islam atas yang lain, dan beliau masuk Islam dengan sempurna.

Zubair bin Bakkar bin Ibnu Asakir meriwayatkan dari Ma’ruf bin Kharbudz dia berkata: Sesungguhnya Abu Bakar As Siddiq adalah salah satu dari 10 orang Quraisy yang kejayaannya dimasa Jahiliyah bersambung hingga zaman Islam. Abu Bakar As Siddiq mendapat tugas untuk melaksanakan diyat (tebusan atas darah kematian) dan penarikan hutang. Ini terjadi karena orang-orang Quraisy tidak memiliki raja dimana mereka bisa mengembalikan semua perkara itu kepada raja. Pada setiap kabilah dikalangan Quraisy saat itu, ada satu kekuasaan umum yang memiliki kepala suku dan kabilah sendiri.

Istri-istri dan anak Abu Bakar.

Abu Bakar pernah menikahi Qutailah binti Abdul Uzza bin Abd bin As’ad pada masa jahiliyyah dan dari pernikahan tersebut lahirlah Abdullah dan Asma’.

Beliau juga menikah dengan Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir bin Zuhal bin Dahman dari Kinanah, dari pernikahan tersebut lahirlah Abdurrahman dan ‘Aisyah.

Beliau juga menikah dengan Asma’ binti Umais bin ma’add bin Taim al-Khatts’amiyyah, dan sebelumnya Asma’ diperistri oleh Ja’far bin Abi Thalib. Dari hasil pernikahannya ini lahirlah bin Abu Bakar, dan kelahiran tersebut terjadi pada waktu haji Wada’ di Dzul Hulaifah.

Beliau juga menikah dengan Habibah binti Kharijah bin Zaid bin Zuhair dari Bani al-Haris bin al-Khazraj.

Abu Bakar pernah singgah di rumah Kharijah ketika beliau datang ke Madinah dan kemudian mempersunting putrinya, dan beliau masih terus berdiam dengannya di suatu tempat yang disebut dengan as-Sunuh hingga Rasullullah saw wafat dan beliau kemudian diangkat menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah saw. Dari pernikahan tersebut lahirlah Ummu Khultsum.

Orang yang paling bersih di masa Jahilliyah

Ibnu Asakir meriwayatkan dengan sanadnya yang shahih dari Aisyah, dia berkata: demi Allah, Abu Bakar As Siddiq tidak pernah melantunkan satu syairpun di masa Jahiliyah dan tidak pula dimasa Islam. Abu Bakar As Siddiq dan Utsman bin Affan tidak pernah minum minuman keras di zaman Jahiliyah.
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Abdullah bin Zubair, dia berkata, Abu Bakar As Siddiq sama sekali tidak pernah mengucapkan syair.

Ibnu Asakir meriwayatkan dari Abu Al-Aliyyah Ar-rayahi, dia berkata: Dikatakan kepada Abu Bakar As Siddiq ditengah sekumpulan sahabat Rasulullah: Apakah kamu pernah meminum minuman keras di zaman Jahiliyah? Beliau berkata, ”Saya berlindung kepada Allah dari perbuatan itu!”

Sifat Abu Bakar As Siddiq

Ibnu Saad meriwayatkan dari Aisyah bahwa seorang laki-laki berkata kepadanya: Coba sebutkan kepada saya gambaran tentang Abu Bakar As Siddiq! Kata Aisyah: dia adalah laki-laki kulit putih, kurus, tidak terlalu lebar bentuk tubuhnya,sedikit bungkuk, tidak bisa untuk menahan pakaiannya turun dari pinggangnya, tulang-tulang wajahnya menonjol, dan pangkal jemarinya datar.

Ibnu Asakir meriwayatkan dari Aisyah, bahwa Abu Bakar As Siddiq mewarnai rambutnya dengan ‘daun pacar’ dan katam (nama jenis tumbuhan). Dia juga meriwayatkan dari Anas, dia berkata, Rasulullah datang ke Madinah, dan tidak ada salah seorang dari para sahabatnya yang beruban kecuali Abu Bakar As Siddiq, maka dia menyemirnya dengan daun pacar dan katam.

Abu Bakar As Siddiq dilahirkan di Mekah dari keturunan Bani Tamim ( Attamimi ), suku bangsa Quraisy. Berdasarkan beberapa sejarawan Islam, ia adalah seorang pedagang, hakim dengan kedudukan tinggi, seorang yang terpelajar serta dipercayai sebagai orang yang bisa menafsirkan mimpi.

Era bersama Nabi saw

Sebagaimana yang juga dialami oleh para pemeluk Islam pada masa awal. Ia juga mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh penduduk Mekkah yang mayoritas masih memeluk agama nenek moyang mereka. Namun, penyiksaan terparah dialami oleh mereka yang berasal dari golongan budak. Sementara para pemeluk non budak biasanya masih dilindungi oleh para keluarga dan sahabat mereka, para budak disiksa sekehendak tuannya. Hal ini mendorong Abu Bakar As Siddiq membebaskan para budak tersebut dengan membelinya dari tuannya kemudian memberinya kemerdekaan. Sehingga diriwayatkan bahwa Abu Bakar As Siddiq memiliki 9 toko yang semuanya habis dibuat untuk tegaknya agama islam. Beberapa budak yang ia bebaskan antara lain :
# Bilal bin Rabbah
# Abu Fakih
# Ammar
# Abu Fuhaira
# Lubainah
# An Nahdiah
# Ummu Ubays
# Zinnira

Ketika peristiwa Hijrah, saat Nabi Muhammad SAW pindah ke Madinah (622 M), Abu Bakar As Siddiq adalah satu-satunya orang yang menemaninya. Abu Bakar As Siddiq juga terikat dengan Nabi Muhammad secara kekeluargaan. Anak perempuannya, Aisyah menikah dengan Nabi Muhammad beberapa saat setelah Hijrah.

Menjadi Khalifah

Selama masa sakit Rasulullah SAW saat menjelang ajalnya, dikatakan bahwa Abu Bakar As Siddiq ditunjuk untuk menjadi imam shalat menggantikannya, banyak yang menganggap ini sebagai indikasi bahwa Abu Bakar As Siddiq akan menggantikan posisinya. Segera setelah kematiannya (632), dilakukan musyawarah di kalangan para pemuka kaum Anshar dan Muhajirin di Madinah, yang akhirnya menghasilkan penunjukan Abu Bakar As Siddiq sebagai pemimpin baru umat Islam atau khalifah Islam.

Apa yang terjadi saat musyawarah tersebut menjadi sumber perdebatan. Penunjukan Abu Bakar As Siddiq sebagai khalifah adalah subyek yang sangat kontroversial dan menjadi sumber perpecahan pertama dalam Islam, dimana umat Islam terpecah menjadi kaum Sunni dan Syi’ah. Di satu sisi kaum Syi’ah percaya bahwa seharusnya Ali bin Abi Thalib (menantu nabi Muhammad), yang menjadi pemimpin dan dipercayai ini adalah keputusan Rasulullah SAW sendiri sementara kaum sunni berpendapat bahwa Rasulullah SAW menolak untuk menunjuk penggantinya. Kaum sunni berargumen bahwa Rasulullah mengedepankan musyawarah untuk penunjukan pemimpin. Sementara muslim syi’ah berpendapat kalau Rasulullah saw dalam hal-hal terkecil seperti sebelum dan sesudah makan, minum, tidur, dll, tidak pernah meninggalkan umatnya tanpa hidayah dan bimbingan apalagi masalah kepemimpinan umat terahir, dan juga banyak hadits di Sunni maupun Syi’ah tentang siapa khalifah sepeninggal Rasulullah saw, serta jumlah pemimpin islam yang dua belas. Terlepas dari kontroversi dan kebenaran pendapat masing-masing kaum tersebut, Ali bin Abu Thalib sendiri secara formal menyatakan kesetiaannya (berbai’at) kepada Abu Bakar As Siddiq dan dua khalifah setelahnya (Umar bin Khattab dan Usman bin Affan). Kaum sunni menggambarkan pernyataan ini sebagai pernyataan yang antusias dan Ali bin Abu Thalib menjadi pendukung setia Abu Bakar As Siddiq dan Umar bin Khattab. Sementara kaum syi’ah menggambarkan bahwa Ali bin Abu Thalib melakukan baiat tersebut secara “pro forma,” mengingat beliau berbaiat setelah sepeninggal Fatimah istri beliau yang berbulan bulan lamanya dan setelah itu ia menunjukkan protes dengan menutup diri dari kehidupan publik.

Perang Ridda

Segera setelah menjabat Abu Bakar As Siddiq, beberapa masalah yang mengancam persatuan dan stabilitas komunitas dan negara Islam saat itu muncul. Beberapa suku Arab yang berasal dari Hijaz dan Nejed membangkang kepada khalifah baru dan sistem yang ada. Beberapa diantaranya menolak membayar zakat walaupun tidak menolak agama Islam secara utuh. Beberapa yang lain kembali memeluk agama dan tradisi lamanya yakni penyembahan berhala. Suku-suku tersebut mengklaim bahwa hanya memiliki komitmen dengan Nabi Muhammad SAW dan dengan kematiannya komitmennya tidak berlaku lagi. Berdasarkan hal ini Abu Bakar menyatakan perang terhadap mereka yang dikenal dengan nama perang Ridda. Dalam perang Ridda peperangan terbesar adalah memerangi “Ibnu Habib al-Hanafi” yang lebih dikenal dengan nama Musailamah Al-Kazab (Musailamah si pembohong), yang mengklaim dirinya sebagai nabi baru menggantikan Nabi Muhammad SAW. Musailamah kemudian dikalahkan pada pertempuran Akraba oleh Khalid bin Walid.

Al Qur’an

Abu Bakar As Siddiq juga berperan dalam pelestarian teks-teks tertulis Al Qur’an. Dikatakan bahwa setelah kemenangan yang sangat sulit saat melawan Musailamah dalam perang Ridda, banyak penghafal Al Qur’an yang ikut tewas dalam pertempuran. Abu Bakar As Siddiq lantas meminta Umar bin Khattab untuk mengumpulkan koleksi dari Al Qur’an. Setelah lengkap koleksi ini, yang dikumpulkan dari para penghafal Al-Quran dan tulisan-tulisan yang terdapat pada media tulis seperti tulang, kulit dan lain sebagainya, oleh sebuah tim yang diketuai oleh sahabat Zaid bin Tsabit, kemudian disimpan oleh Hafsah, anak dari Umar bin Khattab dan juga istri dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian pada masa pemerintahan Ustman bin Affan koleksi ini menjadi dasar penulisan teks al Qur’an hingga yang dikenal hingga saat ini.

Abu Bakar As Siddiq meninggal pada tanggal 23 Agustus 634/ 8 Jumadil Awwal 13 H di Madinah pada usia 63 tahun. Beliau berwasiat agar jenazahnya dimandikan oleh Asma` binti Umais, istri beliau. Kemudian beliau dimakamkan di samping makam Rasulullah. Umar mensholati jenazahnya diantara makam Nabi dan mimbar (ar-Raudhah) . Sedangkan yang turun langsung ke dalam liang lahat adalah putranya yang bernama Abdurrahman (bin Abi Bakar), Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Thalhah bin Ubaidillah.


Sumber : wikipedia dan lainnya.
READ MORE - Mengenal Lebih Dekat Abu Bakar As-Shiddiq

10 Hal yg Mendatangkan Cinta Allah

Diposting oleh AKHWATimoet di 00.24 0 komentar

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin.

Saudaraku, sungguh setiap orang pasti ingin mendapatkan kecintaan Allah. Lalu bagaimanakah cara cara untuk mendapatkan kecintaan tersebut. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan beberapa hal untuk mendapatkan maksud tadi dalam kitab beliau Madarijus Salikin.

Pertama, membaca Al Qur’an dengan merenungi dan memahami maknanya. Hal ini bisa dilakukan sebagaimana seseorang memahami sebuah buku yaitu dia menghafal dan harus mendapat penjelasan terhadap isi buku tersebut. Ini semua dilakukan untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh si penulis buku. [Maka begitu pula yang dapat dilakukan terhadap Al Qur’an, pen]

Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan ibadah yang sunnah, setelah mengerjakan ibadah yang wajib. Dengan inilah seseorang akan mencapai tingkat yang lebih mulia yaitu menjadi orang yang mendapatkan kecintaan Allah dan bukan hanya sekedar menjadi seorang pecinta.

Ketiga, terus-menerus mengingat Allah dalam setiap keadaan, baik dengan hati dan lisan atau dengan amalan dan keadaan dirinya. Ingatlah, kecintaan pada Allah akan diperoleh sekadar dengan keadaan dzikir kepada-Nya.

Keempat, lebih mendahulukan kecintaan pada Allah daripada kecintaan pada dirinya sendiri ketika dia dikuasai hawa nafsunya. Begitu pula dia selalu ingin meningkatkan kecintaan kepada-Nya, walaupun harus menempuh berbagai kesulitan.

Kelima, merenungi, memperhatikan dan mengenal kebesaran nama dan sifat Allah. Begitu pula hatinya selalu berusaha memikirkan nama dan sifat Allah tersebut berulang kali. Barangsiapa mengenal Allah dengan benar melalui nama, sifat dan perbuatan-Nya, maka dia pasti mencintai Allah. Oleh karena itu, mu’athilah, fir’auniyah, jahmiyah (yang kesemuanya keliru dalam memahami nama dan sifat Allah), jalan mereka dalam mengenal Allah telah terputus (karena mereka menolak nama dan sifat Allah tersebut).

Keenam, memperhatikan kebaikan, nikmat dan karunia Allah yang telah Dia berikan kepada kita, baik nikmat lahir maupun batin. Inilah faktor yang mendorong untuk mencintai-Nya.

Ketujuh, -inilah yang begitu istimewa- yaitu menghadirkan hati secara keseluruhan tatkala melakukan ketaatan kepada Allah dengan merenungkan makna yang terkandung di dalamnya.

Kedelapan, menyendiri dengan Allah di saat Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang terakhir untuk beribadah dan bermunajat kepada-Nya serta membaca kalam-Nya (Al Qur’an). Kemudian mengakhirinya dengan istighfar dan taubat kepada-Nya.

Kesembilan, duduk bersama orang-orang yang mencintai Allah dan bersama para shidiqin. Kemudian memetik perkataan mereka yang seperti buah yang begitu nikmat. Kemudian dia pun tidaklah mengeluarkan kata-kata kecuali apabila jelas maslahatnya dan diketahui bahwa dengan perkataan tersebut akan menambah kemanfaatan baginya dan juga bagi orang lain.

Kesepuluh, menjauhi segala sebab yang dapat mengahalangi antara dirinya dan Allah Ta’ala.

Semoga kita senantiasa mendapatkan kecintaan Allah, itulah yang seharusnya dicari setiap hamba dalam setiap detak jantung dan setiap nafasnya.

Ibnul Qayyim mengatakan bahwa kunci untuk mendapatkan itu semua adalah dengan mempersiapkan jiwa (hati) dan membuka mata hati.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallalahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

iloveallah

Sumber: Madaarijus Saalikin, 3/ 16-17, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, terbitan Darul Hadits Al Qohiroh

***
Selesai disusun selepas shalat shubuh, 6 Jumadits Tsani 1430 H, di rumah mertua tercinta, Panggang-Gunung Kidul

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://tehirma.blogspot.com

Source: rumaysho.com
READ MORE - 10 Hal yg Mendatangkan Cinta Allah

Selasa, 28 Desember 2010

Rasa Ini,,,


Cinta sebagaimana fitrahnya merupakan anugerah dan menurutku cinta juga musibah. Cinta menjadi kenikmatan dan keindahan bila karena Alloh SWT dan dijalan-Nya (Al-Hubb Fillah wa Lillah). Cinta Islami (entah memang chalal sebelum ikatan pernikahan???) demikian tidaklah mengenal batas ruang dan waktu serta melampaui batas fisik materi. Perasaan cinta pada dasarnya sebuah kenikmatan dan keindahan. Betapa indahnya hidup yang dipenuhi cinta sejati dan betapa sengsaranya hidup yang dipenuhi kebencian. Orang yang dipenuhi semangat cinta yang suci mulia akan selalu merasa bahagia sebelum orang lain bahagia sehingga mendorongnya untuk memiliki sikap tenang, damai, dan ridha. Dan aku pernah merasakan indahnya cinta itu. ^.^

Perasaan cinta yang dialami setiap jiwa manusia (termasuk aku ya ^.^) memang sebuah misteri sebagaimana fenomena ruh (jiwa). Teringat ngendikan Guru waktu masih sekolah “Nabi saw. bersabda: “Ruh itu laksana pasukan yang dikerahkan, maka seberapa jauh mereka saling mengenal maka sejauh itu pula mereka saling menyatu, dan seberapa jauh mereka tidak saling mengenal maka sejauh itu pula mereka akan berselisih.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud). “

Cinta memang persoalan hati (Qolbun) dan hati seperti namanya adalah bersifat labil, menurutku sering berubah – ubah sehingga yang diperlukan adalah upaya maksimal lahir bathin dalam pengendaliannya secara adil untuk setiap yang berhak atasnya. Nabi saw memaklumi fenomena bathin ini dalam sabda beliau:

“Ya Alloh, inilah usahaku sebatas kuasaku, maka janganlah Engkau cela diriku tentang apa yang Engkau kuasai dan aku tidak kuasai (hati).” (HR. Abu Dawud).

“Ada tiga perkara yang siapa pun memilikinya niscaya akan merasakan kelezatan iman; barang siapa yang Alloh dan Rosul-Nya lebih ia cintai dari lainnya, barang siapa yang mencintai seseorang hanya karena Alloh, dan siapa yang benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dicampakkan ke dalam neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Proses menuju cinta suci yang diberkahi Alloh tidaklah mudah sehingga memerlukan upaya pengendalian diri termasuk pengendalian ego dan penumbuhan rasa empati serta solidaritas sebagai persyaratan iman. Sabda Nabi SAW:

“Tidaklah beriman seseorang di antara kalian sampai ia mencintai saudaranya (seiman) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” Bahkan cinta sesama mukmin merupakan syarat masuk surga “Tidaklah kalian akan masuk surga sampai kalian beriman dan kalian tidak akan beriman sehingga kalian saling mencintai.” (HR. Muslim)

Adapun cinta yang arif sejati adalah sebagaimana cinta Allah kepada hamba-Nya dan cinta Rosululloh kepada umatnya sehingga yang diinginkan Alloh dari hamba-hamba-Nya hanyalah kebaikan, kesempurnaan dan kemuliaan dengan membenci segala kemungkaran dan kejahatan. (QS. Fathir: 35, Al-Kahfi: 18).

Cinta karena Alloh dan benci karena Alloh akan menjadi filter, kontrol sekaligus tolok ukur dalam mencintai segala hal. Dengan demikian cinta yang tulus karena Alloh, Dzat Maha Abadi inilah yang akan bertahan abadi sementara cinta yang dilandasi motif lainnya justru yang akan cepat berubah, bersifat temporer dan akan membuahkan penyesalan. (QS. Az-Zukhruf: 43, Al-Furqan: 25)

Sungguh Maha Benar Alloh dengan segala Firman-Nya. Kini kurasakan akibat cinta yang dilandasi hawa nafsu. Tak bertahan lama. Semoga semua kesalahan dan dosa dalam memaknai dan merasakan cinta yang tak sejati akan terhapus manakala diri ini merasakan CINTA ISLAMI dari Ilaahii Robbii sebagai penyemangat dalam ibadah dan menuju cahaya hati (Nouro Qolby). Kawan, ini sedikit cerita dari diriku yang lemah, penuh dosa. Semoga dapat bermanfa’at dan sebagai pembelajaran dalam hal menanggapi perasaan serius, yaitu : CINTA…. Aku hanya ingin satu cinta yang mampu mengantarkan cinta abadi kepada Pencipta.

Mengenal Lebih Dekat Abu Bakar As-Shiddiq

Abu Bakar As Siddiq ayah dari Aisyah istri Nabi Muhammad SAW. Namanya yang sebenarnya adalah Abdul Ka’bah (artinya ‘hamba Ka’bah’), yang kemudian diubah oleh Rasulullah Saw menjadi Abdullah (artinya ‘hamba Allah’). Abu Bakar As Siddiq atau Abdullah bin Abi Quhafah (Usman) bin Amir bin Amru bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib bin Fihr al-Quraisy at-Taimi. Bertemu nasabnya dengan Nabi saw kakeknya Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai, kakek yang keenam. Dan ibunya, Ummul-Khair, sebenarnya bernama Salma binti Sakhr bin Amir bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim. Nabi Muhammad Saw juga memberinya gelar As Siddiq (artinya ‘yang berkata benar’), sehingga ia lebih dikenal dengan nama Abu Bakar as-Siddiq.

Abu Bakar As Siddiq tumbuh dan besar di Mekah dan tidak pernah keluar dari Mekah kecuali untuk tujuan dagang dan bisnis. Beliau memiliki harta kekayaan yang sangat banyak dan kepribadian yang sangat menarik, memiliki kebaikan yang sangat banyak, dan sering melakukan perbuatan-perbuatan yang terpuji. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu Dughunnah, sesungguhnya engkau selalu menyambung tali kasih dan keluarga, bicaramu selalu benar, dan kau menanggung banyak kesulitan, kau bantu orang-orang yang menderita dan kau hormati tamu.

An-Nawawi berkata: Abu Bakar As Siddiq termasuk tokoh Quraisy dimasa Jahiliyah, orang yang selalu dimintai nasehat dan pertimbangannya, sangat dicintai dikalangan mereka, sangat mengetahui kode etik dikalangan mereka. Tatkala, Islam datang Abu Bakar As Siddiq mengedepankan Islam atas yang lain, dan beliau masuk Islam dengan sempurna.

Zubair bin Bakkar bin Ibnu Asakir meriwayatkan dari Ma’ruf bin Kharbudz dia berkata: Sesungguhnya Abu Bakar As Siddiq adalah salah satu dari 10 orang Quraisy yang kejayaannya dimasa Jahiliyah bersambung hingga zaman Islam. Abu Bakar As Siddiq mendapat tugas untuk melaksanakan diyat (tebusan atas darah kematian) dan penarikan hutang. Ini terjadi karena orang-orang Quraisy tidak memiliki raja dimana mereka bisa mengembalikan semua perkara itu kepada raja. Pada setiap kabilah dikalangan Quraisy saat itu, ada satu kekuasaan umum yang memiliki kepala suku dan kabilah sendiri.

Istri-istri dan anak Abu Bakar.

Abu Bakar pernah menikahi Qutailah binti Abdul Uzza bin Abd bin As’ad pada masa jahiliyyah dan dari pernikahan tersebut lahirlah Abdullah dan Asma’.

Beliau juga menikah dengan Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir bin Zuhal bin Dahman dari Kinanah, dari pernikahan tersebut lahirlah Abdurrahman dan ‘Aisyah.

Beliau juga menikah dengan Asma’ binti Umais bin ma’add bin Taim al-Khatts’amiyyah, dan sebelumnya Asma’ diperistri oleh Ja’far bin Abi Thalib. Dari hasil pernikahannya ini lahirlah bin Abu Bakar, dan kelahiran tersebut terjadi pada waktu haji Wada’ di Dzul Hulaifah.

Beliau juga menikah dengan Habibah binti Kharijah bin Zaid bin Zuhair dari Bani al-Haris bin al-Khazraj.

Abu Bakar pernah singgah di rumah Kharijah ketika beliau datang ke Madinah dan kemudian mempersunting putrinya, dan beliau masih terus berdiam dengannya di suatu tempat yang disebut dengan as-Sunuh hingga Rasullullah saw wafat dan beliau kemudian diangkat menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah saw. Dari pernikahan tersebut lahirlah Ummu Khultsum.

Orang yang paling bersih di masa Jahilliyah

Ibnu Asakir meriwayatkan dengan sanadnya yang shahih dari Aisyah, dia berkata: demi Allah, Abu Bakar As Siddiq tidak pernah melantunkan satu syairpun di masa Jahiliyah dan tidak pula dimasa Islam. Abu Bakar As Siddiq dan Utsman bin Affan tidak pernah minum minuman keras di zaman Jahiliyah.
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Abdullah bin Zubair, dia berkata, Abu Bakar As Siddiq sama sekali tidak pernah mengucapkan syair.

Ibnu Asakir meriwayatkan dari Abu Al-Aliyyah Ar-rayahi, dia berkata: Dikatakan kepada Abu Bakar As Siddiq ditengah sekumpulan sahabat Rasulullah: Apakah kamu pernah meminum minuman keras di zaman Jahiliyah? Beliau berkata, ”Saya berlindung kepada Allah dari perbuatan itu!”

Sifat Abu Bakar As Siddiq

Ibnu Saad meriwayatkan dari Aisyah bahwa seorang laki-laki berkata kepadanya: Coba sebutkan kepada saya gambaran tentang Abu Bakar As Siddiq! Kata Aisyah: dia adalah laki-laki kulit putih, kurus, tidak terlalu lebar bentuk tubuhnya,sedikit bungkuk, tidak bisa untuk menahan pakaiannya turun dari pinggangnya, tulang-tulang wajahnya menonjol, dan pangkal jemarinya datar.

Ibnu Asakir meriwayatkan dari Aisyah, bahwa Abu Bakar As Siddiq mewarnai rambutnya dengan ‘daun pacar’ dan katam (nama jenis tumbuhan). Dia juga meriwayatkan dari Anas, dia berkata, Rasulullah datang ke Madinah, dan tidak ada salah seorang dari para sahabatnya yang beruban kecuali Abu Bakar As Siddiq, maka dia menyemirnya dengan daun pacar dan katam.

Abu Bakar As Siddiq dilahirkan di Mekah dari keturunan Bani Tamim ( Attamimi ), suku bangsa Quraisy. Berdasarkan beberapa sejarawan Islam, ia adalah seorang pedagang, hakim dengan kedudukan tinggi, seorang yang terpelajar serta dipercayai sebagai orang yang bisa menafsirkan mimpi.

Era bersama Nabi saw

Sebagaimana yang juga dialami oleh para pemeluk Islam pada masa awal. Ia juga mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh penduduk Mekkah yang mayoritas masih memeluk agama nenek moyang mereka. Namun, penyiksaan terparah dialami oleh mereka yang berasal dari golongan budak. Sementara para pemeluk non budak biasanya masih dilindungi oleh para keluarga dan sahabat mereka, para budak disiksa sekehendak tuannya. Hal ini mendorong Abu Bakar As Siddiq membebaskan para budak tersebut dengan membelinya dari tuannya kemudian memberinya kemerdekaan. Sehingga diriwayatkan bahwa Abu Bakar As Siddiq memiliki 9 toko yang semuanya habis dibuat untuk tegaknya agama islam. Beberapa budak yang ia bebaskan antara lain :
# Bilal bin Rabbah
# Abu Fakih
# Ammar
# Abu Fuhaira
# Lubainah
# An Nahdiah
# Ummu Ubays
# Zinnira

Ketika peristiwa Hijrah, saat Nabi Muhammad SAW pindah ke Madinah (622 M), Abu Bakar As Siddiq adalah satu-satunya orang yang menemaninya. Abu Bakar As Siddiq juga terikat dengan Nabi Muhammad secara kekeluargaan. Anak perempuannya, Aisyah menikah dengan Nabi Muhammad beberapa saat setelah Hijrah.

Menjadi Khalifah

Selama masa sakit Rasulullah SAW saat menjelang ajalnya, dikatakan bahwa Abu Bakar As Siddiq ditunjuk untuk menjadi imam shalat menggantikannya, banyak yang menganggap ini sebagai indikasi bahwa Abu Bakar As Siddiq akan menggantikan posisinya. Segera setelah kematiannya (632), dilakukan musyawarah di kalangan para pemuka kaum Anshar dan Muhajirin di Madinah, yang akhirnya menghasilkan penunjukan Abu Bakar As Siddiq sebagai pemimpin baru umat Islam atau khalifah Islam.

Apa yang terjadi saat musyawarah tersebut menjadi sumber perdebatan. Penunjukan Abu Bakar As Siddiq sebagai khalifah adalah subyek yang sangat kontroversial dan menjadi sumber perpecahan pertama dalam Islam, dimana umat Islam terpecah menjadi kaum Sunni dan Syi’ah. Di satu sisi kaum Syi’ah percaya bahwa seharusnya Ali bin Abi Thalib (menantu nabi Muhammad), yang menjadi pemimpin dan dipercayai ini adalah keputusan Rasulullah SAW sendiri sementara kaum sunni berpendapat bahwa Rasulullah SAW menolak untuk menunjuk penggantinya. Kaum sunni berargumen bahwa Rasulullah mengedepankan musyawarah untuk penunjukan pemimpin. Sementara muslim syi’ah berpendapat kalau Rasulullah saw dalam hal-hal terkecil seperti sebelum dan sesudah makan, minum, tidur, dll, tidak pernah meninggalkan umatnya tanpa hidayah dan bimbingan apalagi masalah kepemimpinan umat terahir, dan juga banyak hadits di Sunni maupun Syi’ah tentang siapa khalifah sepeninggal Rasulullah saw, serta jumlah pemimpin islam yang dua belas. Terlepas dari kontroversi dan kebenaran pendapat masing-masing kaum tersebut, Ali bin Abu Thalib sendiri secara formal menyatakan kesetiaannya (berbai’at) kepada Abu Bakar As Siddiq dan dua khalifah setelahnya (Umar bin Khattab dan Usman bin Affan). Kaum sunni menggambarkan pernyataan ini sebagai pernyataan yang antusias dan Ali bin Abu Thalib menjadi pendukung setia Abu Bakar As Siddiq dan Umar bin Khattab. Sementara kaum syi’ah menggambarkan bahwa Ali bin Abu Thalib melakukan baiat tersebut secara “pro forma,” mengingat beliau berbaiat setelah sepeninggal Fatimah istri beliau yang berbulan bulan lamanya dan setelah itu ia menunjukkan protes dengan menutup diri dari kehidupan publik.

Perang Ridda

Segera setelah menjabat Abu Bakar As Siddiq, beberapa masalah yang mengancam persatuan dan stabilitas komunitas dan negara Islam saat itu muncul. Beberapa suku Arab yang berasal dari Hijaz dan Nejed membangkang kepada khalifah baru dan sistem yang ada. Beberapa diantaranya menolak membayar zakat walaupun tidak menolak agama Islam secara utuh. Beberapa yang lain kembali memeluk agama dan tradisi lamanya yakni penyembahan berhala. Suku-suku tersebut mengklaim bahwa hanya memiliki komitmen dengan Nabi Muhammad SAW dan dengan kematiannya komitmennya tidak berlaku lagi. Berdasarkan hal ini Abu Bakar menyatakan perang terhadap mereka yang dikenal dengan nama perang Ridda. Dalam perang Ridda peperangan terbesar adalah memerangi “Ibnu Habib al-Hanafi” yang lebih dikenal dengan nama Musailamah Al-Kazab (Musailamah si pembohong), yang mengklaim dirinya sebagai nabi baru menggantikan Nabi Muhammad SAW. Musailamah kemudian dikalahkan pada pertempuran Akraba oleh Khalid bin Walid.

Al Qur’an

Abu Bakar As Siddiq juga berperan dalam pelestarian teks-teks tertulis Al Qur’an. Dikatakan bahwa setelah kemenangan yang sangat sulit saat melawan Musailamah dalam perang Ridda, banyak penghafal Al Qur’an yang ikut tewas dalam pertempuran. Abu Bakar As Siddiq lantas meminta Umar bin Khattab untuk mengumpulkan koleksi dari Al Qur’an. Setelah lengkap koleksi ini, yang dikumpulkan dari para penghafal Al-Quran dan tulisan-tulisan yang terdapat pada media tulis seperti tulang, kulit dan lain sebagainya, oleh sebuah tim yang diketuai oleh sahabat Zaid bin Tsabit, kemudian disimpan oleh Hafsah, anak dari Umar bin Khattab dan juga istri dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian pada masa pemerintahan Ustman bin Affan koleksi ini menjadi dasar penulisan teks al Qur’an hingga yang dikenal hingga saat ini.

Abu Bakar As Siddiq meninggal pada tanggal 23 Agustus 634/ 8 Jumadil Awwal 13 H di Madinah pada usia 63 tahun. Beliau berwasiat agar jenazahnya dimandikan oleh Asma` binti Umais, istri beliau. Kemudian beliau dimakamkan di samping makam Rasulullah. Umar mensholati jenazahnya diantara makam Nabi dan mimbar (ar-Raudhah) . Sedangkan yang turun langsung ke dalam liang lahat adalah putranya yang bernama Abdurrahman (bin Abi Bakar), Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Thalhah bin Ubaidillah.


Sumber : wikipedia dan lainnya.

10 Hal yg Mendatangkan Cinta Allah


Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin.

Saudaraku, sungguh setiap orang pasti ingin mendapatkan kecintaan Allah. Lalu bagaimanakah cara cara untuk mendapatkan kecintaan tersebut. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan beberapa hal untuk mendapatkan maksud tadi dalam kitab beliau Madarijus Salikin.

Pertama, membaca Al Qur’an dengan merenungi dan memahami maknanya. Hal ini bisa dilakukan sebagaimana seseorang memahami sebuah buku yaitu dia menghafal dan harus mendapat penjelasan terhadap isi buku tersebut. Ini semua dilakukan untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh si penulis buku. [Maka begitu pula yang dapat dilakukan terhadap Al Qur’an, pen]

Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan ibadah yang sunnah, setelah mengerjakan ibadah yang wajib. Dengan inilah seseorang akan mencapai tingkat yang lebih mulia yaitu menjadi orang yang mendapatkan kecintaan Allah dan bukan hanya sekedar menjadi seorang pecinta.

Ketiga, terus-menerus mengingat Allah dalam setiap keadaan, baik dengan hati dan lisan atau dengan amalan dan keadaan dirinya. Ingatlah, kecintaan pada Allah akan diperoleh sekadar dengan keadaan dzikir kepada-Nya.

Keempat, lebih mendahulukan kecintaan pada Allah daripada kecintaan pada dirinya sendiri ketika dia dikuasai hawa nafsunya. Begitu pula dia selalu ingin meningkatkan kecintaan kepada-Nya, walaupun harus menempuh berbagai kesulitan.

Kelima, merenungi, memperhatikan dan mengenal kebesaran nama dan sifat Allah. Begitu pula hatinya selalu berusaha memikirkan nama dan sifat Allah tersebut berulang kali. Barangsiapa mengenal Allah dengan benar melalui nama, sifat dan perbuatan-Nya, maka dia pasti mencintai Allah. Oleh karena itu, mu’athilah, fir’auniyah, jahmiyah (yang kesemuanya keliru dalam memahami nama dan sifat Allah), jalan mereka dalam mengenal Allah telah terputus (karena mereka menolak nama dan sifat Allah tersebut).

Keenam, memperhatikan kebaikan, nikmat dan karunia Allah yang telah Dia berikan kepada kita, baik nikmat lahir maupun batin. Inilah faktor yang mendorong untuk mencintai-Nya.

Ketujuh, -inilah yang begitu istimewa- yaitu menghadirkan hati secara keseluruhan tatkala melakukan ketaatan kepada Allah dengan merenungkan makna yang terkandung di dalamnya.

Kedelapan, menyendiri dengan Allah di saat Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang terakhir untuk beribadah dan bermunajat kepada-Nya serta membaca kalam-Nya (Al Qur’an). Kemudian mengakhirinya dengan istighfar dan taubat kepada-Nya.

Kesembilan, duduk bersama orang-orang yang mencintai Allah dan bersama para shidiqin. Kemudian memetik perkataan mereka yang seperti buah yang begitu nikmat. Kemudian dia pun tidaklah mengeluarkan kata-kata kecuali apabila jelas maslahatnya dan diketahui bahwa dengan perkataan tersebut akan menambah kemanfaatan baginya dan juga bagi orang lain.

Kesepuluh, menjauhi segala sebab yang dapat mengahalangi antara dirinya dan Allah Ta’ala.

Semoga kita senantiasa mendapatkan kecintaan Allah, itulah yang seharusnya dicari setiap hamba dalam setiap detak jantung dan setiap nafasnya.

Ibnul Qayyim mengatakan bahwa kunci untuk mendapatkan itu semua adalah dengan mempersiapkan jiwa (hati) dan membuka mata hati.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallalahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

iloveallah

Sumber: Madaarijus Saalikin, 3/ 16-17, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, terbitan Darul Hadits Al Qohiroh

***
Selesai disusun selepas shalat shubuh, 6 Jumadits Tsani 1430 H, di rumah mertua tercinta, Panggang-Gunung Kidul

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://tehirma.blogspot.com

Source: rumaysho.com
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

AKHWATimoet Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by Celebrity Gossip